DbClix

Sunday 28 March 2010

37 Tingkatan (Maqom Awlia)


Berikut di bawah ini Pangkat/ Maqom nya para Aulia Alloh yang diambil dari kitab Jami'u Karomatil Aulia:

1.Qutub Atau Ghauts ( 1 abad 1 Orang )
2. Aimmah ( 1 Abad 2 orang )
3. Autad ( 1 Abad 4 Orang di 4 penjuru Mata Angin )
4. Abdal ( 1 Abad 7 Orang tidak akan bertambah & berkurang Apabila ada wali Abdal yg Wafat Alloh menggantikannya dengan mengangkat Wali abdal Yg Lain ( Abdal=Pengganti ) Wali Abdal juga ada yang Waliyahnya ( Wanita )
5. Nuqoba’ ( Naqib ) ( 1 Abad 12 orang Di Wakilkan Alloh Masing2 pada tiap2 Bulan)
6. Nujaba’ ( 1 Abad 8 Orang )


7. Hawariyyun ( 1 Abad 1 Orang ) Wali Hawariyyun di beri kelebihan Oleh Alloh dalam hal keberanian, Pedang ( Zihad) di dalam menegakkan Agama Islam Di muka bumi.

8. Rojabiyyun ( 1 Abad 40 Orang Yg tidak akan bertambah & Berkurang Apabila ada salah satu Wali Rojabiyyun yg meninggal Alloh kembali mengangkat Wali rojabiyyun yg lainnya, Dan Alloh mengangkatnya menjadi wali Khusus di bulan Rajab dari Awal bulan sampai Akhir Bulan oleh karena itu Namanya Rojabiyyun.

9. Khotam ( penutup Wali )( 1 Alam dunia hanya 1 orang ) Yaitu Nabi Isa A.S ketika diturunkan kembali ke dunia Alloh Angkat menjadi Wali Khotam ( Penutup ).

10. Qolbu Adam A.S ( 1 Abad 300 orang )
11. Qolbu Nuh A.S ( 1 Abad 40 Orang )
12. Qolbu Ibrohim A.S ( 1 Abad 7 Orang )
13. Qolbu Jibril A.S ( 1 Abad 5 Orang )

14. Qolbu Mikail A.S ( 1 Abad 3 Orang tidak kurang dan tidak lebih Alloh selau mengangkat wali lainnya Apabila ada salah satu Dari Wali qolbu Mikail Yg Wafat )

15.Qolbu Isrofil A.S ( 1 Abad 1 Orang )
16. Rizalul ‘Alamul Anfas ( 1 Abad 313 Orang )

17. Rizalul Ghoib ( 1 Abad 10 orang tidak bertambah dan berkurang tiap2 Wali Rizalul Ghoib ada yg Wafat seketika juga Alloh mengangkat Wali Rizalul Ghoib Yg lain, Wali Rizalul Ghoib merupakan Wali yang di sembunyikan oleh Alloh dari penglihatannya Makhluq2 Bumi dan Langit tiap2 wali Rizalul Ghoib tidak dapat mengetahui Wali Rizalul Ghoib yang lainnya, Dan ada juga Wali dengan pangkat Rijalul Ghoib dari golongan Jin Mu’min, Semua Wali Rizalul Ghoib tidak mengambil sesuatupun dari Rizqi Alam nyata ini tetapi mereka mengambil atau menggunakan Rizqi dari Alam Ghaib.

18. Adz-Dzohirun ( 1 Abad 18 orang )
19. Rizalul Quwwatul Ilahiyyah (1 Abad 8 Orang )
20. Khomsatur Rizal ( 1 Abad 5 orang )
21. Rizalul Hanan ( 1 Abad 15 Orang )
22. Rizalul Haybati Wal Jalal ( 1 Abad 4 Orang )

23. Rizalul Fath ( 1 Abad 24 Orang ) Alloh mewakilkannya di tiap Sa'ah ( Jam ) Wali Rizalul Fath tersebar di seluruh Dunia 2 Orang di Yaman, 6 orang di Negara Barat, 4 orang di negara timur, dan sisanya di semua Jihat ( Arah Mata Angin )

23. Rizalul Ma'arijil 'Ula ( 1 Abad 7 Orang )
24. Rizalut Tahtil Asfal ( 1 Abad 21 orang )

25. Rizalul Imdad ( 1 Abad 3 Orang )
26. Ilahiyyun Ruhamaniyyun ( 1 Abad 3 Orang ) Pangkat ini menyerupai Pangkatnya Wali Abdal
27. Rozulun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
28. Rozulun Wahidun Markabun Mumtaz ( 1 Abad 1 Orang )

Wali dengan Maqom Rozulun Wahidun Markab ini di lahirkan antara Manusia dan Golongan Ruhanny( Bukan Murni Manusia ), Beliau tidak mengetahui Siapa Ayahnya dari golongan Manusia , Wali dengan Pangkat ini Tubuhnya terdiri dari 2 jenis yg berbeda, Pangkat Wali ini ada juga yang menyebut " Rozulun Barzakh " Ibunya Dari Wali Pangkat ini dari Golongan Ruhanny Air INNALLOHA 'ALA KULLI SAY IN QODIRUN " Sesungguhnya Alloh S.W.T atas segala sesuatu Kuasa.

29. Syakhsun Ghorib ( di dunia hanya ada 1 orang )
30. Saqit Arofrof Ibni Saqitil 'Arsy ( 1 Abad 1 Orang )

31. Rizalul Ghina ( 1 Abad 2 Orang ) sesuai Nama Maqomnya ( Pangkatnya ) Rizalul Ghina " Wali ini Sangat kaya baik kaya Ilmu Agama, Kaya Ma'rifatnya kepada Alloh maupun Kaya Harta yg di jalankan di jalan Alloh, Pangkat Wali ini juga ada Waliahnya ( Wanita ).

31. Syakhsun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
32. Rizalun Ainit Tahkimi waz Zawaid ( 1 Abad 10 Orang )

33. Budala' ( 1 Abad 12 orang ) Budala' Jama' nya ( Jama' Sigoh Muntahal Jumu') dari Abdal tapi bukan Pangkat Wali Abdal

34. Rizalul Istiyaq ( 1 Abad 5 Orang )

35. Sittata Anfas ( 1 Abad 6 Orang ) salah satu wali dari pangkat ini adalah Putranya Raja Harun Ar-Royid yaitu Syeikh Al-'Alim Al-'Allamah Ahmad As-Sibty

36. Rizalul Ma' ( 1 Abad 124 Orang ) Wali dengan Pangkat Ini beribadahnya di dalam Air di riwayatkan oleh Syeikh Abi Su'ud Ibni Syabil " Pada suatu ketika aku berada di pinggir sungai tikrit di Bagdad dan aku termenung dan terbersit dalam hatiku "Apakah ada hamba2 Alloh yang beribadah di sungai2 atau di Lautan" Belum sampai perkataan hatiku tiba2 dari dalam sungai muncullah seseorang yang berkata "akulah salah satu hamba Alloh yang di tugaskan untuk beribadah di dalam Air", Maka akupun mengucapkan salam padanya lalu Dia pun membalas salam aku tiba2 orang tersebut hilang dari pandanganku.

37. Dakhilul Hizab ( 1 Abad 4 Orang )

Wali dengan Pangkat Dakhilul Hizab sesuai nama Pangkatnya , Wali ini tidak dapat di ketahui Kewaliannya oleh para wali yg lain sekalipun sekelas Qutbil Aqtob Seperti Syeikh Abdul Qodir Jailani, Karena Wali ini ada di dalam Hizab nya Alloh, Namanya tidak tertera di Lauhil Mahfudz sebagai barisan para Aulia, Namun Nur Ilahiyyahnya dapat terlihat oleh para Aulia Seperti di riwayatkan dalam kitab Nitajul Arwah bahwa suatu ketika Syeikh Abdul Qodir Jailani Melaksanakan Towaf di Baitulloh Mekkah Mukarromah tiba2 Syeikh melihat seorang wanita dengan Nur Ilahiyyahnya yang begitu terang benderang sehingga Syeikh Abdul qodir Al-Jailani Mukasyafah ke Lauhil Mahfudz dilihat di lauhil mahfudz nama Wanita ini tidak ada di barisan para Wali2 Alloh, Lalu Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani bermunajat kepada Alloh untuk mengetahui siapa Wanita ini dan apa yang menjadi Amalnya sehingga Nur Ilahiyyahnya terpancar begitu dahsyat , Kemudian Alloh memerintahkan Malaikat Jibril A.S untuk memberitahukan kepada Syeikh bahwa wanita tersebut adalah seorang Waliyyah dengan Maqom/ Pangkat Dakhilul Hizab " Berada di Dalam Hizabnya Alloh ", Kisah ini mengisyaratkan kepada kita semua agar senantiasa Ber Husnudzon ( Berbaik Sangka ) kepada semua Makhluq nya Alloh, Sebetulnya Masih ada lagi Maqom2 Para Aulia yang tidak diketahui oleh kita, Karena Alloh S.W.T menurunkan para Aulia di bumi ini dalam 1 Abad 124000 Orang, yang mempunyai tugasnya Masing2 sesuai Pangkatnya atau Maqomnya

Sumber" www.ghaib99.blogspot.com
Baca Selengkapnya...

Friday 19 March 2010

Samakah Tuhanmu Dengan Tuhanku...???


Jatuh bangun kita mencarinya, nyaris disetiap relung kehidupan, ku ingin selalu bermesraan dengan-Nya. Samakah Tuhanmu dengan Tuhanku? Dalam keheningan sepi kutangkap sebersit cahaya-Mu, dalam kelamnya kehidupan tetap kucari diri-Mu, Samakah Tuhanmu dengan Tuhanku? Silih berganti hadir beragam warna kehidupan, terasa lunglai diri ini, kucari tempat bergelayut yang kokoh dan kuat, Samakah Tuhanmu dengan Tuhanku? Bila saja detak jantung ini selalu bersama-Mu kuyakin seyakin-yakinnya hidup ini akan bertabur bunga nan indah semerbak, Samakah Tuhanmu dengan Tuhanku? Para Sufi sudah mencari jati diri yang hakiki, didapatkan dalam keheningan yang sepi…… bercanda, bergurau, bercengkrama dengan para ruhani menjadi jalan pintas menuju lintasan pencarian hakiki. Samakah Tuhanmu dengan Tuhanku? Allahu….Allahu…Allah...


Ohhhhh…. bahagia rasanya bila Tuhanmu dengan Tuhanku sama. Apa itu bahagia? Bahagia adalah percikan kenyamanan hidup yang lepas, bebas dari semua ikatan yang berdimensi dunia. Apa itu dunia? Dunia adalah apa saja yang terlihat, tergambar, terdengar, terlintas dalam angan guratan hidup. Apa itu hidup? Hidup adalah penantian panjang menuju kehidupan yang sebenarnya. Apa kehidupan yang sebenarnya? Kehidupan yang sebenarnya adalah dari Allah untuk Allah menuju Allah… Allahu…Allahu…Allah…

Isyarat apa yang dapat kita tangkap dari angka 1 ? angka 1 adalah sebuah simbol awal dan akhir perjalanan kita menuju yang Maha Satu. Datang sendiri, pulangpun dengan sendiri, menghadap dalam kesendirian. Bisakah kita connect dalam kesendirian? Amat sangat bisa…… bila Tuhanmu dan Tuhanku sama. Allahu…Allahu…Allah...
Baca Selengkapnya...

Sunday 7 March 2010

Bila Allah Mencintai Hamba


"Siapa yang menyampaikan hadits pada ummatku, dalam rangka menegakkan sunnah, atau demi menghancurkan bid'ah, maka ia berada di syurga." (HR. Abu Nuaim dalam Al-Hiyah)

Para ahli syurga, dalam hadits mulia ini, adalah mereka yang terus menerus menegakkan Sunnah, membelah bid'ah, demi menuggalkan Allah Ta'ala, tawakkal kepadaNya, iman dan cinta kepadaNya.


Sebenarnya kekasih hati adalah Allah SWT. Bila Allah mencintai hambaNya Dia menampakkan rahasiaNya pada keagungan kekuasaanNya, dan Allah SWT, menggerakkan hatinya sebagai limpahan anugerahNya, Allah SWT, memberi minuman dari piala gelas cintaNya, hingga ia mabuk dari selain Dia, lalu dijadikannya berada dalam kemesraan, kedekatan dan kesahabatan denganNya, sampai ia tak sabar untuk segera mengingatNya, tidak memilih yang lainNya dan tidak sibuk dengan satupun selain perintahNya. Syeikh Abu Bakr al-Wasthy ra, berkata, "Posisi cinta lebih di depan dibanding posisi takut. Siapa yang ingin masuk dalam bagian cinta, hendaknya ia selalu husnudzon kepada Allah SWT dan mengagungkan kehormatanNya."

Diriwayatkan bahwa Allah SWT, memberi wahyu kepada Nabi Dawud as. "Hai Dawud, Cintailah AKu, dan cintailah kekasih-kekasihKu, dan cintailah Aku untuk hamba-hambaKu."

Lalu Nabi Dawud as, berkata, "Ilahi, Aku mencintaiMu, dan mencintai kekasih-kekasihMu, lalu bagaimana mencintaiMu untuk hamba-hambaMu?"

"Ingatlah mereka, akan keagunganKu dan kebaikan kasih sayangKu..." Jawab Allah SWT.

Dalam hadits disebutkan, "Bila Allah mencintai seorang hamba dari kalangan hamba-hambaNya, Jiril as, mengumumkan "Wahai ahlai lagit dan bumi, wahai kalangan wali-wali Allah dan para Sufi, Sesungguhnya Allah Ta'ala mencintai si fulan, maka cintailah dia."

Dlam riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW :

"Apabila Allah Ta'ala mencintai hamba, maka Jibril mengumandangkan, "Sesungguhnya Allah sedang mencintai si fulan, maka cintailah dia. Lalu penghuni langitpun mencintainya, baru kemudian diterima oleh penghuni bumi."

Dalam satu riwayat Muslim dusebutkan:

"Apabila Allah Ta'ala mencintai hamba, maka Allah memangil Jibril dan berfirman ; "Sesungguhnya Aku mencintai si fulan maka cintailah dia". Kemudian Jibrilpun mencintainya, lalu Jibril mengumandangkan, :Sesungguhnya Allah sedang mencintainya, baru kemudian diterima oleh penghuni bumi."

Namun bila Allah Ta'ala membenci si fulan, maka Allah SWT mengundang Jibril dan berfirman, "Aku lagi membenci si fulan, maka bencilah ia..." Jibrilpun membencinya, kemudian mengajak kepada penghuni langit dengn mengatakan, "Sesungguhnya Allah sedang membenci si fulan, maka bencilah padanya. Lalu rasa benci itu diturunkan di muka bumi."

Abu Abdullah an-Nasaj ra, mengatakan, "Setiap amal yang tidak disertai cinta kepada Allah SWT, tidak bisa diterima."

"Siapa yang mencintai Allah SWT, maka Dia mengunjunginya dengan berbagai cobaan. Dan siapa yang berpaling dariNya dari lainNya, ia terhijab dariNya dan gugur dari hamparan para pencintaNya."

Abdullah bin Zaid ra, mengatakan, "Saya sedang bertemu dengan lelaki sedang tidur di atas salju, sementara di keningnya bercucuran keringat. Aku bertanya, "Hai hamba Allah, Bukankah sangan dingin!" Lalu ia menjawab, "Siapa yang sibuk mencintai Tuhannya, tak pernah merasa dingin." "Lalu apa tanda pecinta itu?" tanyaku. " Merasa nasih sedikit atas amalnya yang banyak, dan merasa meraih banyak walau mendapatkan sedikit karena datang dari Kekasihnya." jawabnya.

"Kalau begitu beri aku wasiat."
"Jadilah dirimu hanya bagi Allah, maka Allah Bekal bagimu."

Muhammad bin al-Husain ra, mengatakan, "Aku masuk ke pasar untuk membeli budak perempuan, Ku lihat ada budak perempuan yang sedang di ikat, dan pada kedua pipi tulipnya ada luka, yang terukir tulisan, "Siapa yang berkehendak pada kami, akan kami bangkrutkan dia. Dan siapa lari dari kami, akan kami goda dia."

Inilah, kataku, sebagaimana firman Allah Ta'ala pada hambanya, "Bila kalian semua mencariKu, maka Kulalaikan kalian dari selain diriKu, dan Kufanakan denganKu dari dirinya, hingga tidak tahu siapa pun kecuali diriKu."

Ada seseorang sedang mengetuk pintu kekasihnya, lalu ada suara dibalik pintu, "Siapa anda?"
"Aku adalah engaku."
"Ya, silahkan aku, masuklah."

AKu kagum dariMu dan dariku
Engkau fanakan diriku bersamaMu dari diriku
Engkau dekatkan diriku dariMu hinga
Aku menyangka Engkau adalah aku.

Haalatu Ahlil Haqiqah Ma'Allah (Syekh Ahmad Ar-Rifa'y)
Alih Bahasa : KH. Luqman Haqim MA.
Baca Selengkapnya...

Saturday 6 March 2010

Kisah Sang Calon Sufi


Mehmet seorang darwis muda,memiliki seorang sahabat bernama Hasan. Hasan berkata kepada Mehmet, “Maukah kau mengatakan kepada syekhmu jika aku juga ingin menjadi seorang darwis?” Mehmet mendatangi syekhnya dan berkata, “Saya memiliki seorang sahabat bernama Hasan. Ia jujur dan pekerja keras. Ia meminta saya untuk menanyakan kepada Anda, apakah ia dapat menjadi seorang darwis.” Sang syekh tidak memberikan jawaban apa pun. (Seorang syekh umumnya akan memilih diam daripada mengeluarkan perkataan yang negative, atau memberikan jawaban maupun solusi yang harus diperkirakan sendiri oleh seorang darwis.)


Akhirnya, setelah Mehmet mendatangi syekh tersebut untuk ketiga kalinya, sang syekh berkata, “Katakan pada temanmu untuk datang dan melayani pondokan kita, kita akan melihat apakah ia siap untuk menjadi seorang darwis.”

Hasan pun disibukkan dengan pekerjaan menyapu dan membersihkan dapur. Ia dapat mendengan para darwis bersenandung dan berdoa, juga mendengarkan mereka bercakap2 dan bergurau mengenai hidangan yang tersedia. Setelah beberapa lama, Mehmet bertanya kembali pada syekh mengenai sahabatnya itu. Dan sang syekh berkata, “Suruh ia menyajikan segelas air minum untukku minggu depan, saat pesta kita yang akan datang. Jika ia dapat menyajikannya padaku dengan sukses ditengah-tengah tamu yang terhormat, itulah pertanda ia telah siap.”

Pada hari penyelenggaraan pesta tersebut, Hasan tetap sibuk di dapur sambil menunggu dengan gelisah untuk dipanggil. Setelah makan, sang syekh memulai ceramahnya. Akhirnya, ia meberi isyarat bahwa ia meminta segelas air. Hasan segera masuk dengan segelas air di atas nampan dan berlutut dihadapan sang syekh. Sang syekh sedang menceritakan kisah yang rumit, dan ketika ia membuat gerakan untuk memberikan penjelasan, ia menyenggol gelas tersebut. Hasan merasa sangat malu sehingga ia menutup matanya dengan rasa takut.

Ketika ia mebuka matanya, Hasan menemukan dirinya berada di tepi jurang di dalam hutan. Ia berhasil keluar melewati pepohonan dan tiba disebuah kota . Tercium bau sedap yang datang dari sebuah rumah makan, lalu Hasan pun merasa sangat lapar. Walaupun ia tahu dirinya tidak membawa dompet, Hasan memutuskan untuk memesan hidangan panas yang lezat. Setelah makan dan meminum segelas kopi, seorang pria berpakaian rapi menghampiri mejanya. “Saya harap Anda menikmati hidangannya,|” katanya. “Oh tentu, semuanya sangat lezat. Apakah Anda pemiliknya?” Tanya Hasan, sambil berpura2 mencari2 dompetnya. “Ya,” jawab pria tersebut, “dan saya sangat senang bahwa anda menikmati masakan kami yang sederhana ini.”

“Dompet saya tidak kutemukan,” Hasan berseru. “Saya pasti telah membuatnya jatuh. Bagaimana saya harus membayar Anda ?”

“Anda pasti orang baru disekitar sini. Saya tidak membutuhkan pembayaran apa pun. Tapi saya akan sangat menghargai jika Anda mau berdoa untuk arwah orang tua saya yang baru saja meninggal dunia.”

Hasan berdoa dengan fasih untuk orang tua sang tuan rumah. Si pemilik rumah makan tersebut sangat berterima kasih pada Hasan dan memintanya kembali untuk makan pada esok hari.

Dengan terheran2, Hasan pun pergi, merasa kenyang dan puas. Sore itu terasa dingin. Saat ia melewati sebuah toko pakaian, ia berhenti sejenak menggagumi sebuah mantel yang indah. Seketika itu juga seorang pria keluar dari toko tersebut. “Anda menyukai mantel itu?” tanyanya.

“Mantel tersebut sangat indah,” jawab Hasan, “dan saya sangat menyukai bordirannya .”

“Terima kasih,” sambut pria muda tersebut. “Itu untuk Anda.”

Hasan mencoba untuk menolak, namun pria muda tersebut memaksa. “Anda tidak berasal dari sini, kan ?” Tanya si penjahit. “Anda punya tempat untuk menginap?” Hasan pun mengeleng kepalanya. “Kalau begitu, Anda dapat membantu saya. Saya membutuhkan seseorang untuk tinggal di apartemen saya diatas toko, dan menjaga toko saya kalau2 ada kebakaran dan keadaan darurat.”

Hasan duduk didalam apartemen baru dengan mantel baru, perutnya kenyang.. Ia berpikir bahwa pastilah ia berada disurga karena segala keinginannya terpenuhi secara ajaib.

Seketika itu, ia mendengar belasan suara merdu di luar. Ia melongok keluar dan melihat jalanan dipenuhi oleh wanita muda yang bercakap2 dan memanggil teman2nya. Saat Hasan melihat, matanya tertumpu pada seorang wanita tercantik yang pernah ia lihat. Hasan tidak dapat tidur sepanjang malam. Keesokan paginya, ketika penjahit datang untuk membuka tokonya. Hasan menjelaskan pengalamannya semalam.

:”Kamis malam,” jelas si penjahit, “adalah malam para wanita kami.” Para wanita kota ini menghabiskan malam mereka bersama2 dan para pria tinggal dirumah. Banyak pria yang bertemu dengan calon istri mereka pada malam2 seperti ini. Ketika hal ini terjadi, maka adat kami adalah bahwa sang pria muda keluar dari rumah dengan membawa lilin yang telah dinyalakan. Ia meberikannya kepada wanita muda yang ia pilih, dan jika sang wanita menerima lilin tersebut, berarti ia menerima lamaran sang pria.”

Pada kamis malam berikutnya, Hasan memberikan lilinnya pada si wanita cantik yang telah merebut hatinya. Wanita tersebut mengambil lilin itu.

Keesokan harinya Hasan dipanggil orang tua siwanita, lalu orang tua itu berkata “Tampaknya putriku tlah menerima lamaran anda., anda akan mendapatkan sebuah rumah dan uang yang cukup banyak untuk menopang hidup anda, sebelum menikahi putri saya, Anda harus berjanji untuk memenuhi 3 syarat.”

Hasan menerima ketiga syarat itu, “ya tentu, apa saja persyaratannya?”

“Anda harus berjanji untuk menjaga lisan Anda, tangan Anda dan kemaluan Anda. Apakah Anda berjanji?’

“Ya, saya berjanji.”

Lalu Hasan pun menikah. Ia merasa bahwa dirinya pastilah pria terbahagia di dunia, menikahi wanita yang ia cintai dan hidup sebagai pria kaya.

Suatu pagi, ketika Hasan masih mengantuk karena tidur larut malam, ada yang mengetuk pintu. Seketika itu juga Hasan teringgat ia tlah berjanji dengan beberapa orang untuk membicarakan bisnis. Ia berkata pada istrinya “Sayang, saya tlah membuat janji bisnis, tetapi saya tak ingin terganggu oleh hal tersebut saat ini. Bisakah kamu katakan pada orang2 tsb bahwa saya telah pergi dan bahwa saya akan menemui mereka sore ini.”

Istrinya terkejut dan berkata “Apa? Apa yang kau ingin aku katakan pada orang2 tsb?”

“Katakan aku sudah pergi”

Istinya tampaknya sangat marah, lalu pergi dengan tergesa-gesa dan tidak kembali lagi. Hasan pun mencarinya kerumah orangtua sang istri.

Disana Orang tua nya berkata dengan marah, “Kau tidak menepati janjimu yang pertama, lebih buruk lagi, kau tidak saja luput menjaga lisanmu, tetapi bahkan menyuruh anakku berdusta untukmu. Hal ini tidak dapat dimaafkan!”

Hasan memohon dan berjanji hal itu tak akan terulang, ayah mertuanya pun melunak dan istrinya masih mau kembali.

Suatu hari Hasan dan istrinya pergi berpiknik. Ketika istrinya beristirahat, ia berjalan2 sendirian , ia melewati sebuah kebun buah. Satu buah persik terjatuh diluar pagar. Buah tersebut tampak matang dan menggiurkan. Hasan berpikir bahwa buah tsb dapat menjadi pencuci mulut.

Ia membawa buah persik tersebut, dan meminta istrinya mengupasnya. “Apakah seseorang memberikannya kepadamu, atau apakah kamu membelinya?” Tanya sang istri.

Hasan menjawab, “Tidak saya menemukannya dijalan. Buah ini telah jatuh dan saya memungutnya.”

“Maksud kamu, tak ada seorang pun yang memberikan atau menjualnya kepadamu? Kamu mengambilnya begitu saja?”

Sang istri menangis dan berlari. Ketika Hasan kembali ke rumah ia tidak melihat istrinya..

Ia segera menemui ayah mertuanya, mertuanya tampak lebih marah dari sebelumnya. “Kau telah melanggar janjimu yang kedua.”

“Tetapi buah itu tergeletak dijalan,” bela Hasan.

“Itu tak penting. Kau tidak menanam pohon tersebut, kau tidak membelinya, dan kau tidak menerimanya sebagai hadiah. Bukan hakmu untuk mengambilnya.”

Kembali Hasan memohon untuk dimaafkan ia berjanji tak akan pernah lagi mengulanginya, dan akhirnya istrinya setuju untuk kembali kerumah.

Setelah beberapa bulan, Hasan memperhatikan bahwa para wanita muda biasa berkumpul disungai setiap hari Selasa untuk mencuci. Walaupun istrinya sangat cantik, ia telah terbiasa dengan penampilan istrinya itu. Para wanita muda tersebut masing2 tampak cantik dan menarik dengan cirri khas mereka masing2.

Hasan mulai melakukan kebiasaan berjalan ditepi sungai setiap hari Selasa, dan tiap2 minggunya ia berhenti semakin lama dan semakin lama untuk mengagumi tuibuh mreka yang molek2. Pada hari Selasa, Hasan meringkuk dibelakang semak2 untuk mengintip wanita2 itu. Tiba2 ia ditangkap dari belakang oleh seorang tentara dan menggiringnya kerumah mertuanya.

Sang Mertua menatapnya dengan dingin. “Kau telah gagal memegang janjimu yang ketiga! Walaupun kau tidak bertindak dengan perasaanmu, tetapi di dalam pikiranmu kau telah bersikap tak setia kepada putriku.” Kemudian sang mertua berbalik pada sang tentara. “Lempar ia kembali ke tempat ia semula datang!”

Sang tentara menggiring Hasan melewati hutan menuju tepi jurang dan mendorongnya. Dengan penuh ketakutan, Hasan menutup matanya.

Ketika ia membuka matanya, ia kembali berada di hadapan sang syekh, masih memegang nampan dengan segelas air. Sang syekh membungkuk dan berbisik kepada Hasan, “Kau lihat kan ? Kau belum siap!”

Dunia yang dimasuki oleh Hasan hampir serupa dengan dunia para sufi. Jika seorang darwis miniti jalan sufi dengan tulus, maka ia kerap akan memperoleh keuntungan yang tidak disangka2, dan dimudahkan dalam menghadapi kesulitan2 duniawi.

Dikutip dari buku HATI, DIRI DAN JIWA. Karya Robert Fragers (Syekh sufi dan professor psikologi pada Institut of Transpersonal Psychologi, California ).
Baca Selengkapnya...

Durhaka Dalam Taat...


ALLAH SWT berfirman : Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Syurga padahal Allah belum mengenal mereka yang berjihad di antaramu dan belum juga mengenal mereka yang sabar. (Ali Imran : 142)

Berjihad menurut Tafsir adalah :

1. Berperang melawan orang kafir dan munafik untuk menegakkan lslam dan melindungi orang-orangIslam.
2. Memerangi hawa nafsu dan syaitan.
3. Mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umat Islam.
4. Memberantas yang batil dan menegakkan yang hak.


Dalam ayat di atas, Allah SWT menanyakan pada kita umat Islam, sudahkah kita berjihad dan bersabar? Kalau belum kita lakukan maka janganlah kita berfikir bahwa kita akan dapat masuk syurga Allah di Akhirat kelak. Jika sudah, maka kita sebenarnya sedang fisabilillah.

Berperang melawan orang kafir dan munafik adalah mudah. Yang susah adalah berperang melawan hawa nafsu dan syaitan. Kalau kita menang terhadap orang kafir tetapi tidak menang terhadap nafsu, itu belum menjamin kita benar-benar bertakwa.

Rasulullah SAW bersabda : Terjemahannya : Kita baru kembali dari peperangan kecil untuk masuk ke satu peperangan yang lebih besar. Sahabat bertanya, "Peperangan apa itu, ya Rasulullah?" Baginda menjawab, "Peperangan hati yakni melawan hawa nafsu."

Rasulullah SAW bersabda : Terjemahannya : Ketahuilah sesungguhnya dalam diri anak Adam itu ada segumpal daging. Jika baik daging maka baiklah seluruh jasad. Bila busuk daging itu, maka jahatlah seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati.(Riwayat Bukhari & Muslim)

Marilah kita tanya diri kita sendiri, "Apakah aku telah melakukan jihad yang besar itu? Atau apakah aku telah memerangi hawa nafsuku?"

Untuk menjawabnya, lihatlah ke dalam hati kita apakah selalu ingat kepada Allah atau selalu lalai?

Apakah sudah cinta Allah atau lebih cinta pada dunia? Apakah sudah sabar atas ujian Allah atau masih memberontak terhadap-Nya? Apakah sudah bersih dari mazmumah-mazmumah atau masih juga memiliki sifat hasad dengki, benci-membenci, minta dipuji, gila nama, tamak dan mementingkan diri sendiri?
Kalau hati masih berisi daki-daki dunia yang kotor itu, janganlah bermimpi bahwa amalan-amalan lahir seperti shalat, puasa, zakat, haji, sedekah, berdakwah, menuntut ilmu, menutup aurat, membaca Al Quran, zikrullah dan lain-lain itu dapat menebus kita dari kebencian Allah dan api neraka. Coba kita lihat firman Allah SWT :
Terjemahannya : Hari itu (hari ketika meninggal dunia) harta dan anak tidak berguna lagi kecuali orang yang menghadap Allah membawa hati yang selamat (hati yang bersih dari segala kejahatannya dan sifat mazmumah). (Asy Syuara’: 88-89)

Kalau shalat tidak khusyuk dan tidak ada rasa hamba, itu tanda kita masih durhaka pada Allah. Bukan amalan lahir yang dapat membawa seseorang kepada keredhaan Allah dan syurga-Nya, tetapi yang lebih penting adalah amalan hati.

Sabda Rasulullah SAW : Terjemahannya : Allah tidak memandang rupa dan harta kamu, tetapi Allah memandang hati dan amalan kamu. (Riwayat Muslim)

Kalau hati kita beramal soleh dan lahir kita juga ikut beramal soleh (sebab amalan lahir mengikuti amalan batin, seperti rakyat mengikuti raja) itulah kesempurnaan amalan manusia yang dijamin dengan Syurga.

Untuk meyakinkan saudara, saya tunjukkan firman Allah yang menunjukkan amalan batin adalah wajib :

1. Perintah khusyuk dalam shalat, yaitu mengingati Allah :
Terjemahannya : Apakah belum masanya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk mengingati Allah. (Al Hadid : 16)

2. Perintah supaya senantiasa merasa diawasi oleh Allah :
Terjemahannya : Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca satu ayat dari Al Quran dan tidak mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Allah biar pun sebesar zarah (atom) di bumi maupun di langit. Tidak ada yang kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuz). (Yunus: 61)

3. Perintah supaya takut kepada Allah :
Terjemahannya : Janganlah kamu menyembah dua Tuhan. Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Esa, maka hendaklah kamu takut kepada-Ku saja. (An Nahl : 51)

4. Perintah supaya tawakal kepada Allah :
Terjemahannya : Hanya kepada Allah sajalah orang-orang beriman harus bertawakal. (At Taubah : 51)

5. Perintah supaya syukur kepada Allah :Terjemahannya : Bersyukurlah kamu kepada Allah sekiranya kamu benar-benar menyembah-Nya. (Al Baqarah : 172)

Kalau kita betul-betul menghambakan diri pada Allah, kita mesti memiliki rasa syukur pada Allah. Seperti halnya kita mendapat hadiah dari raja, maka kita akan merasa berhutang budi dan berterimakasih padanya, serta bersyukur atas hadiah pemberiannya.

Janganlah kita terlena memikirkan hadiah itu saja sehingga lupa pada yang memberi hadiah.
Terjemahannya : Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu maka dari Allahlah datangnya dan bila kamu ditimpa kemudaratan maka hanya pada-Nyalah kamu minta tolong. (An Nahl : 53)

6. Perintah supaya sabar
Terjemahannya : Sabarlah kamu tetapi tidak mungkin kamu bersabar kecuali dengan pertolongan Allah. (An Nahl : 127)

Di antara amalan lahir dan amalan batin, Allah lebih mengutamakan amalan batin, sebab itu hendaklah diamalkan benar-benar karena dan untuk Allah, bukan untuk manusia. Sebab manusia tidak akan melihat. Kalau hati sudah baik, maka lahirnya akan baik. Kalau lahir saja yang baik, hati belum tentu baik.
Kalau ada orang yang menanggapi dengan perkataan, ''Kalau begitu, kita perbaiki hati saja, lahir tidak usah!'' itu adalah anggapan yang tidak benar. Sebab hati yang baik adalah hati yang taat pada perintah-perintah Allah lahir dan batin. Kalau amalan lahir tidak dikerjakan artinya hati belum baik.

Banyak terjadi dalam masyarakat umat Islam hari ini mereka yang mengamalkan hukum Islam hanya syariat lahir saja seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikrullah, sedekah, tutup aurat dan bersilaturrahim. Namun amalan hati (batin) tidak dipedulikan. Itulah yang dimaksudkan sebagai durhaka dalam taat.

Ada dua jenis orang yang durhaka dalam taat :

1. Orang yang mengamalkan syariat lahir saja seperti shalat wajib dan sunat, puasa, haji, zakat, baca Al Quran, zikir dan wirid, serta mengamalkan sedikit amalan batin, tetapi keduanya tidak sempurna (tidak seperti yang dikehendaki Allah). Maksudnya tidak semua perintah Allah dikerjakannya.
Contohnya adalah orang-orang yang melakukan semua perintah fardhu ditambah dengan fadhailul 'amal (shalat sunat witir, shalat dhuha, shalat tahajjud, puasa sunat, membaca Al Quran, tahlil dan lain-lain) tetapi masih ikut dalam sistem riba, membuka aurat, melakukan pergaulan bebas, mengumpat, memfitnah, mencerca, sombong, kikir dan cinta dunia.

Golongan seperti itu adalah golongan durhaka dan tidak selamat dari api neraka.

Imam Al Ghazali berkata :
"Tidak mengapa kalau tidak bisa tahajjud malam (karena sunat),tetapi janganlah membuat dosa (haram) di siang hari, karena tidak ada gunanya bakti pada Allah di malam hari (tahajjud) tetapi durhaka (berbuat dosa–haram) di siangnya."

Orang seperti itu sama halnya dengan seorang yang menanam padi di tengah ilalang. Hasilnya padi akan dirusak oleh ilalang dan tidak memperoleh hasil apa pun. Atau seperti seorang yang memelihara kesehatan badannya dengan memakan obat-obatan yang perlu, tetapi ia juga memakan racun.

Akibatnya orang tersebut tidak akan sehat seperti yang diharapkan.
Tersebut sebuah Hadis :Terjemahannya : Tahukah kamu apa itu muflis? Mereka menjawab, "Muflis pada kami adalah mereka yang tidak mempunyai dirham dan harta benda sedikit pun." Sabda Rasulullah, "Sesungguhnya orang yang muflis di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari Qiamat dengan shalat, puasa dan zakat tetapi dia juga pernah mencaci, menuduh orang berbuat jahat, dan mengambil hak orang. Dia juga pernah menumpahkan darah (membunuh orang) atau sekurang-kurangnya memukul. Oleh karena itu pahala ibadahnya akan diberi kepada orang yang dianiaya itu satu persatu. Dan kalau pahalanya tidak cukup, dosa-dosa orang itu diberikan juga kepadanya (jadilah ia muflis) dan akan dijerumuskan ke dalam Neraka." (Riwayat Muslim)

2. Orang yang taat dalam mengerjakan amalan-amalan lahir tetapi lalai terhadap amalan batin. Lahirnya terlihat sempurna tetapi hatinya penuh dengan hasad dengki, jahat sangka, sombong, kikir, riya', penuh angan-angan, minta dipuji, cinta dunia, serakah, mementingkan diri sendiri, di samping tidak ada rasa hina diri, mengharap dan malu dengan Allah. Dia suka menghina orang yang tidak beribadah, sedangkan dia merasa tenang dan senang dengan ibadahnya serta merasa yakin akan selamat di Akhirat.
Orang seperti itu sebenarnya adalah orang yang durhaka dalam taatnya kepada Allah. Hakikatnya dia adalah orang yang durhaka dan amalannya ditolak. Dia bukan orang yang dekat dengan Allah tetapi orang yang jauh dari Allah. Hatinya terputus dengan Allah.

Para ulama telah sepakat :

1. Biarlah sedikit amal (yang fardhu saja) bersama hati yang merasa takut pada Allah (takwa) daripada banyak amalan lahir tetapi tidak ada rasa takwa (rasa hamba).

2. Walau sebanyak dan sehebat apa pun ibadah seseorang selagi hatinya tidak zuhud dengan dunia, selama itu pula ibadahnya tidak bernilai.

Orang yang mengerjakan amalan lahir tanpa amalan batin perbandingannya seperti seorang pekerja di istana raja yang rajin dan taat melakukan kerja-kerja yang ditugaskan padanya di istana itu. Kerjanya rajin dan lebih banyak daripada pekerja-pekerja lainnya. Maka timbullah rasa bangga dan sombongnya. Malangnya di antara kawan-kawan dia bersikap angkuh. Bahkan di depan raja pun bersikap tidak sopan, tidak hormat dan tidak beradab. Dia merasa dirinya hebat dan besar. Dia beranggapan raja tidak murka kepadanya sebab semua pekerjaannya selesai

Ternyata apa pandangan raja? Sekalipun dia tahu hambanya itu bekerja dengan rajin tetapi karena sikapnya yang tidak beradab itu, raja tidak akan sayang untuk membuangnya dari istana, karena dia seolah-olah hendak menjadi raja (ataupun merasa setaraf dengan raja).
Begitu juga jika seorang manusia yang melakukan perintah-perintah Allah tetapi hatinya tidak beradab dengan Allah sebagaimana yang Allah kehendaki, niscaya Allah tetap murka dan akan melemparkannya ke dalam Neraka.
Firman Allah :
Terjemahannya : Adapun orang yang enggan dan menyombongkan diri maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksa yang pedih. (An Nisa’ : 173)

Dan firman Allah dalam Hadist Qudsi bermaksud :
"Hai Isa, apabila Aku lihat di dalam hati hamba-Ku terdapat cinta yang suci pada-Ku tidak bercampur oleh sesuatu tamak, keinginan-keinginan yang berkenaan dengan Akhirat dan dunia maka ia akan Kuperlakukan sebagai penjaga cintanya itu."

Orang yang benar-benar taat adalah orang yang hatinya cinta kepada Allah. Cinta sucinya akan membuatnya beramal semata-mata untuk Allah. Niatnya tidak bercampur dengan niat mencari keuntungan di dunia atau akhirat. Ketaatan kepada Allah yang seperti itu adalah taat yang suci. Dia tidak akan ujub dalam taatnya, tidak riya' dalam taatnya, tidak buruk sangka dalam taatnya, tidak sombong dalam taatnya, tidak penuh angan-angan dalam taatnya, tidak merasa tuan dalam taatnya dan lain-lain.

Itulah orang yang hatinya dekat kepada Allah. Dia taat dalam taatnya. Jasad lahirnya dan jasad batinnya sama-sama tunduk menyembah Allah dengan taat, rasa hina diri, malu, rasa bersalah, rasa berdosa dengan Allah, tidak menghina hamba-hamba yang lain, tidak sombong dan tidak hasad.
Ibadah-ibadahnya yang lahir (membuat yang fardhu dan sunat, meninggalkan yang haram, syubhat dan makruh) dan ibadah batin betul-betul dilakukan sebagai satu persembahan yang sebenarnya dari seorang hamba kepada Tuhannya. Dia tidak mengharap balasan apa pun di dunia dan di akhirat. Itulah hamba Allah yang akan menjadi kecintaan Allah di Akhirat nanti.

Firman Allah dalam surah Al Waqiah :
Terjemahannya : Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon-pohon bidara yang tidak berduri. Dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya). Dan naungan yang terbentang luas. Dan air yang senantiasa mengalir. Dan buah-buahan yang lebat. Yang tidak bermusim (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya. Dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk.
Sesungguhnya Kami menciptakan untuk mereka (bidadari-bidadari) ciptaan yang unik (tidak beranak). Dan Kami jadikan mereka muda-muda belaka. Saling mencintai dan sebaya umurnya. Untuk golongan kanan (terdapat dua kumpulan). (yaitu) kumpulan besar dari orang-orang yang terdahulu. Dan kumpulan besar dari orang-orang yang kemudian. (Al Waaqiah: 27- 40)

Ada pula segolongan manusia yang taat dalam durhaka. Mereka adalah orang yang tidak beramal dengan syariat lahir karena tidak kuat melawan hawa nafsu dan syaitan.

Mereka hanya dapat membuat ibadah yang fardhu dan meninggalkan yang haram tetapi ibadah sunat fadhoilul 'amal sangat kurang. Tetapi karena kekurangan itu mereka selalu merasakan kekurangan diri, hina diri dan rasa bersalah (berdosa).

Mereka mengharap amal yang sedikit itu diterima Allah dengan rasa malu dan takut dengan Allah. Mereka selalu menyesali diri yang tidak kuat melawan hawa nafsu dengan rasa berdosa. Perasaan tidak sempurna dalam melaksanakan khidmat pada Allah dan manusia selalu ada di hati mereka. Sebab itu mereka selalu beristighfar dan mohon dikasihani oleh Allah. Golongan seperti itu sebenarnya golongan yang taat. Mereka taat dalam durhaka. Mereka akan selamat di dunia dan di akhirat.

Mereka itu adalah seperti seorang pekerja istana raja yang tidak begitu rajin. Kerjanya sekedar cukup, tidak lebih, kadang-kadang melakukan kesalahan atau lalai. Seharusnya bekerja dua jam, ia hanya bekerja satu jam. Karena itu dia rasa bersalah, rasa kurang, tidak besar diri, tidak berfikir tentang kesalahan orang, takut sesama kawan apalagi kepada raja.
Dia bimbang bila kekurangannya akan mendatangkan kemurkaan raja. Sebab itu bukan saja dia sangat sopan dengan raja bahkan dia tidak berani berbuat tanpa izin di dalam istana. Ia menjaga gerak-geriknya karena merasa bimbang dan selalu mengharapkan kemaafan dan keampunan dari raja.
Raja menyadari keadaan itu, sebab itu raja memaafkan kekurangan hambanya dan akan tetap menerimanya sebagai hamba di dalam istana.

Begitulah hamba Allah yang selalu sadar dan insaf akan kelemahannya, senantiasa taubat, takut, malu dan rasa hina diri pada Allah serta berakhlak sesama manusia. Dia akan mendapat pengampunan dan syurga Allah di Akhirat nanti.

Firman Allah :
Terjemahannya: Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal soleh maka mereka akan masuk syurga dan tidak dianiaya sedikit pun. (Maryam : 60)

Hidup kita adalah untuk menghambakan diri kepada Allah. Itulah jalan keselamatan seorang manusia. Dua puluh empat jam kita mesti beribadah pada Allah, lahir dan batin.

Firman Allah: Terjemahannya : Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzaariyat : 56)

Mungkin dalam ibadah lahir ada waktu istirahatnya tetapi dalam ibadah batin yang dilakukan oleh hati kita, mesti dilakukan terus-menerus. Kita mesti selalu memelihara rasa kehambaan pada Allah, rasa hina, rasa malu, rendah diri, takut, bimbang, ingin berkhidmat, rasa berdosa, rasa lemah dan rasa diri penuh kekurangan. Perasaan-perasaan (zauk) itu hendaklah kita pelihara dalam hati sepanjang masa.
Bagi kita sebagai orang awam, mungkin rasa itu belum ada di hati, karena itu hendaklah kita terus mengusahakannya dengan memikirkan kebesaran, kehebatan dan keagungan Allah. Perhatikan dan fikirkan tanda-tanda kebesaran Allah pada alam. Dari situ akan datang perasaan kehambaan pada diri kita.

Pada tahap awal perlu dipaksakan supaya perasaan itu ada. Namun bagi orang yang telah bersih hatinya mereka tidak susah memikirkannya lagi. Perasaan itu sudah ada dan senantiasa ada dalam hati mereka. Bukan saja waktu shalat, waktu membaca Al Quran, berpuasa, berzikir dan lain-lainnya, bahkan di luar waktu ibadah, hati mereka tetap kepada Allah SWT.

Singkatnya perasaan kehambaan itu telah benar-benar dihayati oleh lahir dan batin mereka sepanjang masa. Seperti seorang pekerja istana yang hatinya senantiasa berisi perasaan kehambaan baik ketika bekerja atau ketika beristirahat, waktu makan, minum atau waktu tidur. Tidak seperti pekerja yang waktu kerja dia merasa dia kuli, tetapi waktu istirahat dia merasa tuan dan berlagak seperti tuan.

Orang yang kenal Allah akan benar-benar merasa bahwa dia adalah hamba Allah. Hatinya tidak merasa lebih baik, lebih pandai, hebat, besar, kuat, dan segala-galanya. Sebab kalaupun dia pandai, maka dia tetap hamba. Dia rasa dia adalah hamba, ingin berkhidmat sebagai hamba. Hidupnya seperti hamba dan bergaya seperti hamba. Hamba Allah yang bekerja untuk Allah, mengabdikan diri kepada Allah, berjuang membela agama Allah, berkorban untuk Allah dan berperang karena Allah bahkan rela mati karena Allah.
Siapa pun musuh Allah adalah musuhnya, akan ditentang habis-habisan. Dan orang-orang Allah adalah orang-orangnya maka ia perlakukan dengan penuh mesra dan kasih sayang.
Itulah jiwa yang merdeka, bebas dari ikatan dunia. Jiwa yang tidak akan diperbudak oleh dunia karena jiwanya diserahkan sepenuhnya pada Allah.

Banyak terjadi di kalangan kita, mereka yang merasa hamba Allah hanya ketika beribadah, shalat, puasa, mengerjakan haji, atau waktu membaca Al Quran, wirid dan zikir saja. Di luar waktu itu, waktu makan, waktu tidur, waktu mencuci, waktu menyapu halaman dan lain-lain, tidak merasa diri sebagai hamba.
Kita merasa urusan tersebut adalah urusan kita sehingga kejayaan yang dicapai adalah untuk dan karena kita. Cara melaksanakan urusan tersebut. sesuai dengan selera kita, pendapat kita dan cara kita. Kita tidak merasa bahwa kita berkhidmat untuk dan karena Allah lagi. Kita tidak terasa hubungan dengan Allah. Kita tidak merasa malu dan hina diri dengan Allah. Mungkin jika ditanya orang kita akan menjawab bahwa kita bekerja untuk Allah. Tetapi itu hanya ada di akal saja, hakikatnya hati kita tidak merasa begitu.

Perasaan (zauk) kita tidak merasakan begitu. Hati masih merasa tuan, merasa kepunyaan kita, kuasa kita, kejayaan kita, kelebihan kita dan karena kita. Sebab itu kita akan mengikuti selera kita dalam bertindak sehingga tidak menghiraukan peraturan hidup dari Tuhan.
Orang seperti itu sebenarnya bukan menghambakan diri pada Allah, dan tidak bertuhankan Allah. Dia bertuhankan dan menghambakan diri untuk nafsu.

Firman Allah : Terjemahannya : Tidakkah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsu sebagai Tuhan. (Al Jasiyah : 23)

Mereka menganggap diri mereka bijaksana dan merdeka, tetapi sebenarnya merekalah orang yang lemah, bodoh dan terkurung dalam kesempitan nafsu mereka sendiri.
Karena menurutkan hawa nafsu manusia menjadi orang-orang yang durhaka pada Allah dalam ketaatannya. Mereka menunaikan hanya sebagian dari perintah Allah (durhaka dalam taat). Mereka mengikuti kehendak dan bisikan nafsu tanpa menyadari bahwa mengikuti hawa nafsu itu berarti durhaka pada Allah.

Sebagian besar manusia beranggapan bahwa mengikuti kehendak nafsu adalah suatu yang baik dan selayaknya. Terutama dalam amalan batin. Karena hal itu sulit, tidak terlihat oleh mata manusia, maka tidak ada siapa pun yang dapat menegur.

Ia melakukan shalat, puasa, berjuang, bicara tentang kebenaran, berkorban untuk Islam, sehingga orang menganggapnya baik. Hatinya sombong, tidak ada siapa pun yang tahu, hatinya jahat sangka tidak ada yang tahu, hatinya iri tidak ada yang tahu, hatinya tidak rasa berdosa siapa yang tahu, hatinya merasa bersih siapa yang tahu, hatinya pemarah siapa yang tahu, hatinya gila dunia siapa yang tahu, hatinya tidak takut Allah siapa yang tahu dan banyak lagi amalan hatinya tidak ada siapa pun yang tahu. Maka ia menjadi manusia yang tertipu. Biasanya orang itu mati dalam dosa atau maksiat yang tidak disadari, balasannya adalah neraka.

Marilah kita obati hati kita dengan mujahadah terhadap nafsu (mujahadatunnafsi), satu perjuangan yang besar dan terus menerus tiada ujungnya.

sumber :www.gagakmas.org
Baca Selengkapnya...

Apa itu Tasawwuf...???


Banyak orang yang bertanya tentang apa itu tasawwuf, dari pemahaman penulis merujuk kepada keterangan yang ada dalam kitab Tanwirul Qulub karangan Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi hal 404, tasawwuf diterjemahkan sebagai ilmu batin dan ilmu yang paling agung dari ilmu-ilmu yang lain dengan tidak mengecilkan ilm-ilmu yang ada. Allah telah mengutamakan para hambanya yang ahli tasawwuf setelah kedudukan para Rosul dan para Nabi-Nya. Allah telah menjadikan hati mereka sebagai gudang–gudang rahasia dan telah mengkhususkan mereka diantara umatnya untuk menerbitkan cahaya-cahaya Ilahiyah. Dimanapun mereka berada hatinya selalu bersama Allah.


Masih dalam kitab yang sama (1332 H:406), batasan ilmu tasawwuf dalam kitab tersebut ialah untuk mengetaui keadaan nafsu terpuji dan tercela dan bagaimana cara membersihkan nafsu yang tercela tersebut, serta mengisinya dengan sifat-sfat yang terpuji dan juga untuk mengetahui bagaimana jalan menuju Allah.

Oleh karena itu, tak salah kiranya jika ilmu tasawwuf diartikan sebagai ilmu untuk mensucikan segala penyakit-penyakit hati dan ilmu untuk menjadikan ibadah kita khusyu yakni ketika beribadah hatinya selalu ingat kepada Allah.

Al kisah seorang ulama besar Imam Madzhab yaitu Imam Ahmad bin Hambali r.a pernah berwasiyat kepada anaknya yang bernama Abdullah: “Hai Abdullah wajib bagimu untuk menghapalkan hadits dan wajib bagimu untuk menjauhkan diri dari majlis dzikir yang mengakui dirinya golongan tasawwuf, karena sesungguhnya mereka adalah golongan orang yang bodoh terhadap hukum-hukum islam.“ Namun setelah Imam Ahmad bin Hambali r.a bersahabat dengan seorang ahli tasawwuf Abu Hamzah Al-Baghdadi dia jadi mengetahui tentang golongan tasawwuf . Dan akhirnya Imam Ahmad berwasiyat lagi kepada anaknya, “Hai anakku wajib bagimu bergabung dengan majlis dzikirnya orang-orang tasawwuf karena mereka itu berilmu tentang Allah , muroqobah khusyu rasa takut pada Allah, zuhud, dan bercita-cita tinggi.pada Allah (1332H:405).

Dan begitu pula Imam Madzhab yang lain yaitu Imam Syafi’i selalu hadir di majlis tasawwuf. Beliau mengatakan perlu bagi ahli fiqih untuk mengetahui istilah-istilah tasawwuf agar membawa manfaat dari ilmu yang tidak ada dalam dirinya. Imam syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambali bolak-balik menghadiri dan mengikuti majlis dzikir tasawwuf. Mereka berdua ditanya: “Apa yang kalian berdua lakukan, bolak balik kegolongan orang-orang yang bodoh itu?”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya mereka yang menamai golongan tasawwuf itu telah memiliki puncak segala urusan dan dia itu bertaqwa pada Allah, mencintai Allah dan mengenal Allah.

Kita tahu Allah telah mewajibkan ibadah sholat kepada umat Islam namun ibadah itu tidak akan diterima tanpa diiringi dengan kekhusyuan hati .Dan kekhusyuan itu hanya bisa didapat dengan ilmu tasawwuf, dan tasawwuf itu sendiri tidak bisa dipelajari sendiri, tetapi harus melalui seorang bimbingan Guru Ruhani yang dinamakan Mursyid. Jadi mencari Mursyid untuk belajar tasawwuf itu hukumnya menjadi wajib.Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih : “Maa laa yatimmul waajib illaa bihi fa huwa waajibun”. Artinya: “Tidak sempurna kewajiban kecuali dengan suatu perkara dan perkara itu hukumnya menjadi wajib “.

BAGAIMANA HUKUM MEMPELAJARI TASAWWUF

Ibadah akan sia-sia jika tidak diiringi dengan hati yang penuh dengan cahaya-Nya. Cahaya Allah tidak akan bisa ditangkap dengan hati yang kotor yang penuh dengan kedengkian, kesombongan, dendam dan lain–lain. Hal ini tidak ada cara lain kecuali harus mempelajari tasawwuf yang dibimbing langsung oleh Guru Ruhani yang disebut Mursyid.

Dan seluruh ahli thoriqot pun sepakat mewajibkan kepada seluruh manusia harus mencari guru yang memberi petunjuk kepadanya untuk menghilangkan macam –macam sifat yang bisa menjadi penghalang kepadanya dari ma’rifat ke hadrot Allah oleh hatinya. Hal itu dilakukan agar hati menjadi sah dan khusyu, sebab menghadirkan Allah dalam seluruh ibadah. Sedangkan dalam kenyataannya, hati tak akan bisa khusyu kepada Allah tanpa adanya bimbingan. Jadi mencari Mursyid itu hukumnya menjadi wajib. Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajib illaa bihi fa huwa waajibun.” Artinya: “Tidak sempurna kewajiban kecuali dengan suatu perkara dan perkara itu hukumnya menjadi wajib.”

Dalam hal ini Imam Al-Ghozali pun telah berpendapat bahwa hukum mempelajari tasawwuf atau thoriqot adalah fardlu ‘ain (wajib untuk setiap orang) bagi laki-laki maupun perermpuan, karena manusia tidak lepas dari kecacatan atau penyakit–penyakit hati, kecuali para Nabi Allah. Sebagaimana yang dikatakan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani qs: “Maka wajib bagi semua manusia untuk mencari kehidupan hati seperti untuk kehidupan keakhiratan dari ahli talqin dzikir di dunia ini sebelum datangnya maut.“

Syekh Abi Hasan Asy-Syadzili qs mengatakan: “Barangsiapa yang tidak ikut masuk thoriqot-ku yaitu thoriqot shufiyyah (thoriqot-nya orang-orang ahli tasawwuf) maka ketika mati, orang itu membawa dosa besar karena hukumnya fardlu‘ain. Oleh karena itu, maka wajib untuk pergi mencari seorang guru Mursyid untuk minta talqin dzikir, dan jika sudah menemukan Mursyid yang telah masyhur dalam mengobati muridnya, namun walaupun orang yang mau belajar itu dilarang oleh orang tuanya maka ia wajib untuk berguru.“

Sebagian orang–orang yang telah ma’rifat mengatakan: “Barangsiapa orang yang tidak memiliki bagian ilmu batin ini yaitu thoriqot tasawwuf maka aku takut orang itu jika meninggal dalam keadaan su’ul khotimah yaitu akhir yang jelek karena hati yang kotor.“

Dalam kitab Risalatul Qudsiyyah, Syekh Wahab Sya’roni telah berkata: “Mencari guru thoriqot itu wajib bagi tiap -tiap murid walaupun telah menjadi Ulama besar, karena sesungguhnya tiap–tiap orang yang tidak mendapat dzikir dari guru Mursyid yang memberi petunjuk kepadanya untuk mengeluarkan sifat–sifat yang cacat di hatinya. Maka orang itu telah ma’siyat kepada Allah dan Rosulnya, hal itu dikarenakan tidak mendapat petunjuk jalan untuk mengobati penyakit hatinya walaupun dengan memaksa tetap tidak akan membawa manfaat kalau tanpa Mursyid, walaupun orang tersebut telah hafal seribu kitab.”
Baca Selengkapnya...

Tasawuf, Mutiara yang Mulai Diingat Lagi


Jangan bangun rumahmu di tanah orang lain
Bekerjalah demi cita-citamu sendiri yang sejati di dunia ini
Jangan sampai kau terjerat oleh bujukan orang asing
Siapa orang asing itu kecuali hawa nafsumu?
Dialah sumber bencana dan kepiluanmu
Selama cuma tubuh yang kaurawat dan kaumanjakan
Tidak akan subur jiwamu, tidak akan pula teguh


Ini hanya sebutir dari demikian banyak mutiara hikmah yang ditinggalkan para Sufi dalam gudang perbendaharaan mereka dan masih banyak lagi yang tersembunyi dari kita. Hikmah yang dikutip di atas ialah satu bait dari sajak Jalaluddin Rumi (1207-1273 M) sufi dan penyair besar dari Persia. Sajak itu ditulis ketika umat Islam berada dalam chaos dan disintegrasi besar-besaran, mirip dengan yang kita alami sekarang, sebagai akibat dari serbuan Perang Salib II di sebelah barat (tanah Arab) dan penaklukkan tentara Mongol di sebelah timur (Persia, Asia Tengah). Untaian di atas dipetik dari karya agung sang Sufi Matsnawi, yang oleh para sarjana sastra Islam digelari sebagai Tafsir Qur`an dalam bahasa Persia yang paling bernilai sastra.

Menurut Peter Avery (1978) karya Rumi itu ditulis dengan tujuan "memperteguh kembali jiwa masyarakat Muslim yang koyak-moyak akibat pembantaian dan penjarahan besar-besaran tentara Mongol, yang menyebarluaskan pesimisme dan membuat orang Islam hilang rasa percaya diri terhadap kekuatan terpendam drinya dan agama yang dianutnya." Namun sayang sekali setelah melalui perjalanan waktu panjang dan ratusan pergolakan internal yang melelahkan, termasuk sengketa khilafiyah yang berlarut-larut, mutiara hikmah seperti itu pada akhirnya terkubur dari ingatan banyak orang Islam. Begitu pula tujuan positif tasawuf kian dilupakan, sedangkan yang sampai kepada kita kebanyakan ialah pengertian yang dangkal dan lebih banyak keliru atau dikelirukan.

Kini minat terhadap tasawuf dan sastranya bangkit kembali secara menggembirakan di kalangan terpelajar Islam. Kata-kata Rumi di atas niscaya dapat memulihkan pemahaman positif kita terhadap tasawuf. Dengan indahnya sang Sufi menggolongkan hawa nafsu sebagai barisan orang asing yang cerdik dan pandai memperdaya kita. Ini menyadarkan kita bahwa, sebagaimana cita-cita dan ideologi asing, hawa nafsu sebenarnya bukanlah diri kita yang sejati. Dalam kitabnya itu Rumi melukiskan lebih jauh hawa nafsu:
Hawa nafsumu adalah ibu segenap berhala:

Berhala benda ialah ular, berhala jiwa adalah naga.

Menghancurkan berhala itu mudah, namun menganggap mudah

Mengalahkan nafsu adalah tolol.

Anakku, jika bentuk nafsu ingin kaukenali, bacalah uraian tentang

Neraka dengan tujuh pintunya

Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu muslihat;

Dan dari setiap tipu muslihat seratus Fir'aun dan balatentaranya terjerumus.

Para Sufi menuturkan hikmah dalam berbagai bentuk pengucapan sastra. Bukan hanya dalam bentuk prosa seperti risalah atau khitabah. Bentuk penuturan estetik yang dipilih antara lain kisah perumpamaan (alegori), epik kerohanian, adab, cerita berbingkai,humor, sajak-sajak pujian (diwan, qasidah), sajak-sajak cinta mistikal (ghazal), satire atau sindirian (hija`), dan lain sebagainya. Karya-karya mereka relevan dibaca kembali untuk membenarkan pemahaman kita, yang terlanjur keliru dan menyesatkan serta ahistoris tentang tasawuf.. Contohnya saja di Barat. Di sana ahli tasawuf atau Sufi lebih dikenal sebagai sekelompok penari yang gemar akan ekstase dan sehari-hari kerjanya hanya demikian. Gambaran seperti itu antara lain dijumpai dalam buku James Morier Haji Baba of Ispahan. Di negeri kita sendiri kegiatan kaum Sufi dan ahli tarekat sering dikaitkan dengan praktek pedukunan, klenik, paranormal atau nujum. Padahal bukan itu tasawuf yang sebenarnya.

Tasawuf sering pula dipandang sebagai sumber kemunduran Islam, suatu kesimpulan yang naif dan tidak didasarkan argumentasi yang jelas. Dalam kenyataan faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Islam sangat kompleks dan saling menjalin satu dengan yang lain. Di antara faktor-faktor itu termasuk faktor budaya, politik dan ekonomi. Tasawuf sendiri sebagai gerakan keagamaan mengambil corak beragam, ada yang aktif dan militan, ada yang memang pasif dan eskapis. Ada yang mengambil bentuk gerakan Tarekat, ada yang mengambil bentuk Falsafah dan gerakan Budaya. Dan adalah tidak adil apabila kita melupakan sumbangan besar mereka dalam penyebaran agama Islam, khususnya di di negeri-negeri Islam bagian timur.

Pun tidak adil melupakan sumbangan yang mereka di bidang seni, bahasa, sastra, kebahasaan, arsitektur dan berbagai kepakaran;. Besarnys umbangan itu tercermin dalam kemasyhuran nama tokoh-tokohnya dan penerimaan luas masyarakat Muslim terhadap pemikiran dan kiprah mereka dalam bidang spiritulitas. Di antara tokoh-tokoh masyhur yang menghiasi lembaran sejarah kebudayaan dan peradaban Islam ialah Mansur al-Hallaj, al-Ghazali, al-Qusyairi, Ibn al-'Arabi, Ibn Sina, Omar Khayyam, Atar, Rumi, Jami', Mulla Sa'di, Hafizh, Suhrawardi, Ghalib, Hamzah Fansuri, Mohammad Iqbal dan lain-lain. Sufi dikenal dengan banyak nama: darwisy, `urafa (ilmunya disebut irfan) atau ahli suluk, seperti dikenal di Jawa dan Madura. Sekalipun gerakan mereka sering dituduh menyimpang dari agama, terutama oleh ulama fiqih dan modernis, namun mereka tetap tegar dalam keyakinan mereka dan pengaruh ajaran mereka tidak menyebabkan eksistensi keberadaan masyarakat Muslim terganggu selama beberapa abad. Para Sufi bahkan aktif memimpin gerakan jihad, misalnya menentang kolonialisme pada masa penjajahan. Mereka juga sering muncul sebagai pemimpin gerakan pembaharu. Syekh Junaid al-Baghdadi mengatakan : "Sistem tasawuf kami terikat pada Islam, al-Qur'an dan Sunnah Rasul."

Tasawuf juga kerap dihubungkan dengan ajaran Budha dan Vedanta, Neo-Platonisme dan asketisme Kristen. Memang kebenaran yang mereka ajarkan ada banyak mirip dengan ajaran-ajaran di atas. Namun kemiripan itu sering terjadi karena pada hakekatnya ajaran mistisisme di mana-mana memiliki kemiripan. Pengalaman mistikal sendiri bersifat universal, namun bagaimana cara menyampaikannya perlu perangkat agama dan teks keagamaan. Namun akar dan sumber ajaran Sufi ialah al-Qur'an. Islam sendiri sebagai al-din tidak pernah mengaku sebagai ajaran yang benar-benar baru. Begitu pula para Sufi tidak pernah mengklaim bahwa ajaran kerohanian benar-benar baru dan sama sekali berbeda dari bentuk-bentuk spiritualitas lain. Malahan Sufi terkemuka, Ibn al-Arabi yang digelari Syekh al-Akbar, menuturkan:

Benih tasawuf telah ditanam pada zaman Nabi Adam.

Itulah mukjizat kehidupan, kemaujudan.

Di masa Nabi Nuh mulai bertunas.

Itulah mukjizat pertumbuhan, penyelamatan

Di masa Nabi Ibrahim dahan-dahannya bercabang.

Itulah mukjizat kemekaran dan pemeliharaan

Zaman Nabi Musa menyaksikan buah muncul.

Itulah mukjizat keranuman dan pembuahan

Zaman Nabi Isa buah-buahan itu mulai masak.

Itulah mukjizat puasa dan keriangan jiwa.

Zaman Nabi Muhammad kita menyaksikan

Anggur bening hasil perahan dan penyaringan.

Itulah mukjizat pencapaian dan perubahan bentuk.

Sufi sejati, seperti dituturkan tokohnya, adalah "Kalbu yang bening, bukan baju kumal dan nafsu liar." Tujuan Sufi ialah mencapai pengetahuan yang benar dan pasti tentang Tuhan dan diri. Dan itu dicapai melalui penyucian jiwa, pemurnian pikiran dan kalbu, yang semuanya disebut jalan Cinta.
Apabila orang modern kerap berkata bahwa keadaan tergantung pada orangnya, maka Sufi mengatakan bahwa keadaan seseorang sangat ditentukan oleh pengetahuan yang dicapainya. Pengetahuan bermacam-macam. Ada yang didapat di luar diri dan ada yang dijumpai dalam diri setelah mencarinya bersusah payah.. Mencari pengetahuan bagi para sufi merupakan suatu perjalanan dan perjalanan paling indah dan memberi kebahagiaan ialah perjalanan menemukan diri dan memperoleh pengetahuan tentang hakekat segala hakekat. Tentang hal ini penyair Sufi abad ke-12 Abu Said al-Khayr menulis dalam sajak bersahaja, namun menyentuh perasaan yang dalam:

Segala perjalanan menuju Kau – indah

Segala wajah menatap wajah-Mu – indah

Segala mata memandang sinar-Mu – indah

Segala kata mengulang nama-Mu – indah

Pada baris terakhir sajaknya Abu Said al-Khayr menuturkan indahnya pengalaman spiritual yang diperoleh para Sufi dalam zikir yang tulus dan sungguh-sungguh. Penyair Sufi Turki abad ke-13 Yunus Emre juga menulis dengan nada serupa:

Air sorga mengalir cerlang

Nama Tuhan disebut berulang-ulang

Demikian nyanyi burung bulbul Islam

Menyebut asma Allah berulang-ulang

Dahan pohon Tuba bergoyang

Semua kawan membaca al-Qur`an

Mawar di taman mendesir menyebar wewangian

Menyebut asma Allah berulang-ulang

Perjalanan Sufi ialah perjalanan mencari Tuhan dan hakekat diri. Penyair Sufi terbesar Asia Tenggara Hamzah Fansuri menulis dengan ungkapan bersahaja namun indah dan dalam:

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah

Mencari Tuhan di Baitul Ka'bah

Dari Barus ke Qudus terlalu payah

Akhirnya dijumpai di dalam rumah

Sejak dahulu hingga kini manusia tidak berhenti mencari hakekat dirinya, sebab hanya dengan mengenal diri seseorang menemukan kebahagiaan dan tidak asing dengan rumah spiritualnya. Dalam sajak itu juga dinyatakan bahwa perjalanan seorang Sufi bukan sekedar perjalanan horisontal di dunia bentuk-bentuk-bentuk, tetapi sebuah perjalanan vertikal di alam hakekat. Jalaluddin Rumi menulis bahwa sumber kebahagiaan yang disebut hakekat diri tidak dapat dijumpai apabila manusia terpaku pada bentuk-bentuk formal peribadatan:

Salib dan Kristen, pucuk ke pucuk kuperiksa

Tidak ada dia dalam salib.

Kudatangi pura Hindu, kuil pagoda

lama, tak setitik pun tanda di sana.

Ke Ka'bah dan Mekkah aku datang.

Tak pula di sana.

Kujenguk ke dalam kalbuku sendiri.

Ya di situ kulihat dia.

Tak di tempat lain ternyata kujumpa.

Para Sufi memang suka mengembara dari satu tempat ke tempat lain sejak dulu sampai kini. Mereka berjalan dengan tujuan banyak: mencari guru, kawan seperjalanan, murid yang mau mendengarkan ajarannya serta menyebarkan agama dan memperbanyak jumlah orang Islam. Pada abad ke-13 dan 14 M. dunia Islam diharu biru oleh banyak peperangan, antara lain Perang dan penaklukkan tentara Mongol. Para Sufi berhasil menyelamatkan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah hancur berkeping-keping. Mereka pergi mencari tempat-tempat yang aman sebagai pos-pos perhentian dalam perjalanan mereka. Pos-pos perhentian ini berfungsi banyak: sebagai surau, pesantren, tempat penampungan para pengungsi dan perlindungan para pedagang. Di pos-pos perhentian inilah mereka mengkonsolidasikan kekuatan dan penyebaran dakwah Islam, menghimpun calon-calon syuhada dan ulama-ulama yang militan. Di pos-pos perhentian itu pulalah mereka mendirikan ta`ifa (organisasi dagang) bersama para saudagar, bekas tentara yang tidak aktif lagi, pengrajin, seniman, tabib, ilmuwan, pelaut, pelayar dan lain-lain.

Namun perjalanan dan pengembaraan di alam dunia hanyalah sarana untuk memulai perjalanan yang lebih tinggi. Perjalanan manusia yang sejati menurut Rumi ialah “Perjalanan dari diri ke Diri' yaitu “Dari diri yang rendah, (yaitu hawa nafsu) menuju diri yang lebih tinggi (yaitu Diri Rohani). Perjalanan seperti itu "Bagaikan perjalanan tebu mencari gula, perjalanan sebutir pasir yang menyimpang dari jalan yang lazim kemudian masuk ke dalam kerang dan kelak menjelma mutiara."

Seseorang yang telah menemukan diri akan merasa dekat dengan Yang Satu sebagaimana dikatakan Hamzah Fansuri dalam bait penutup untaian syairnya:

Hamzah Syahr Nawi zahirnya Jawi

Batinnya cahaya Ahmad yang safi

Sungguhpun ia terhina jati

`Asyiqnya da’im akan Dzat al-Bari

Orang yang berhasil mengenal secara mendalam hakekat dirinya akan memperoleh kearifan atau hikmah yang tinggi. Dia mengerti bahwa walaupun secara zahir ia dilahirkan sebagai orang Melayu, Jawa, Persia atau Afghan, namun secara batin sama, berasal dari cahaya yang suci. Atau sebagai dikatakan Baba Kuhi dari Shiraz pada abad ke-12:

Di pasar, di biara -- hanya Tuhan kulihat

Di lembah dan gunung -- hanya Tuhan kulihat

Sering ia terasa ada di sampingku

Pada saat bencana menimpa.

Dalam senang dan keberuntungan -- hanya Tuhan kulihat.

Pada waktu berdoa dan berpuasa

Pada saat sembahyang dan tafakur

Dalam agama Rasulullah -- hanya Tuhan kulihat.

Bukanlah jiwa atau tubuh, bukan kejadian atau hakekat,

Bukan sifat atau sebab yang kujumpa -- hanya Tuhan kulihat dekat.

Kubuka mata dan dengan sinar wajah-Nya

Yang menerangi kegelapan di sekelilingku

Yang terjumla mata dalam segala -- hanya Tuhan kulihat.

Pengetahuan tidak terkira banyaknya di dunia ini. Ia membentang di alam semesta dan dalam diri manusia sebagai ayat-ayat-Nya, yaitu isyarat akan keberadaan-Nya yang gaib namun nyata melalui pekerjaan dan tindakan-tindakan-Nya yang kreatif. Demikianlah Tuhan yang dilihat para Sufi itu merujuk pada kenyataan tersebut, bukan Tuhan dalam rupa lahiriyah sebagaimana rupa mahluk-mahluk di alam syahadah atau inderawi. Lagi pula dalam ayat lain al-Qur`an dikatakan bahwa “Kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah”. Wajah-Nya yang diisyaratkan itu pun bukan wajah lahiriyah Tuhan, melainkan penampakan sifat-sifat dan pekerjaan-Nya dalam kehidupan, baik di alam semesta maupun dalam diri manusia. Itulah sebabnya juga dikatakan dalam al-Qur`an bahwa Tuhan lebih dekat kepada manusia dibanding urat leher manusia sendiri. Maka itu benar apabila Baba Kuhi yang telah merasa haqq al-yaqin (yakin sebenar-benar yakin) mengatakan , “Sering Dia terasa ada di sampingku pada saat bencana menimpa.”

Telah dikatakan bahwa para Sufi ialah pencari Hakekat Diri yang sejati dan mereka mempercayai bahwa pengalaman makrifat bersifat pribadi. Mereka juga yakin diri dan ajaran mereka bertujuan mencapai realisasi diri dalam kehidupan yang memancarkan kebenaran ilahiyah. Walau demikian tidak berarti mereka senang memuji-muji diri, bersikap egosentris dalam tindakan dan suka mementingkan diri. Justru melalui pencariannya itu mereka ingin mencapai keadaan faqir, kehapusan diri dari kepentingan dunia yang bersifat materialistis dan egosentris.

Cara mereka menyiarkan agama jelas berbeda dari para ulama fiqih dan muballigh biasa. Mereka biasa menempuh pendekatan kultural. Mereka serap kebudayaan masyarakat setempat, kemudian dipompa dengan nilai-nilai Islam dan selanjutnya ditransformasikan menjadi bentuk kebudayaan baru. Melalui sarana seni seperti musik, sastra dan arsitektur mereka menanampkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat. Apabila kesadaran batin masyarakat telah siap menerima ajaran Islam, maka pengajaran syariat dan fiqih diberikan secara intensif sebagai bentuk pembebasan dari formalitas kehidupan lama.

Dalam kasus ini sangat menarik apa yang dilakukan Sunan Bonang seperti dituturkan sendiri olehnya di dalam Suluk Wujil. Pada suatu hari datangla hari datanglah ke Pesantren Bonang seorang pangeran cebol dari Majapahit bernama Wujil. Bekas orang istana ini sangat haus akan kebenaran. Ia tidak puas dengan segala bentuk ajaran formal ajaran agama seperti Hindu, Buddha dan alirannya. Dia telah mengembara ke mana-mana untuk menemui para pendeta, ulama dan bhiksu. Tetapi dia tidak pernah dapat menemukan apa yang dicarinya.

Di Bonang Wujil diterima oleh Sang Wali dan dikatakannya bahwa hakekat ajaran agama Hindu yang asli sebenarnya sama dengan Islam, dan tujuan kedua agama ini sama. Tetapi di dalam agama Hindu orang perlu bertapa di gunung dan menyiksa badan untuk memperoleh kelepasan dan kesempurnaan . Sedangkan di dalam agama Islam keselamatan jiwa dapat dilakukan di tempat ramai tanpa perlu menyiksa badan. Salat lima kali sehari tidak kurang manjurnya dalam memberikan pembersihan pada jiwa. Wujil kemudian diberi pelajaran syari'at, asas-asas aqidah Islam, fiqih dan tasawuf.

Tasawuf menekankan pentingnya penyaksian kalbu dalam mencapai kebenaran. Penyaksian kalbu itulah yang disebut pengetahuan langsung. Menurut mereka pengenalan kebenaran secara formal, yang diperoleh dengan jalan mendengar atau membaca dari buku tidaklah memadai. Pengetahuan formal tidak dapat mengantarkan seseorang pada hakekat kebenaran apabila terpaku pada bentuk-bentuk formal. Syariat tidak bermakna apa-apa tanpa dihayati dengan pemahaman terhadap hakekat dan makrifat. Dorongan untuk menyampaikan keyakinannya tentang pentingnya pengetahuan langsung ini mendorong para Sufi banyak melahirkan puisi dan kisah-kisah perumpamaan yang menarik. Sebab hanya melalui bahasa simbolik dan figuratif sastra pandangan, gagasan dan pengalaman mereka dapat diungkapkan lebih hidup dibanding diuraikan dalam bentuk risalah ilmiah.

Sebutan lain untuk pengetahuan langsung ialah Cinta dan sering cinta diidentikkan dengan keimanan. Pengetahuan langsung ini dicapai apabila seseorang telah lepas dari kepentingan diri yang duniawi. Sebagaimana ditulis oleh seorang penyair Sufi, lebih kurang:

Cinta akan sempurna apabila telah tanggal dari dirinya

Yaitu menyatu dengan tujuan cinta

Tujuan cinta ialah kesatuan kehendak atau keberadaan

Bandingkan dengan apa yang dituturkan oleh seorang hukama Taois dari Cina tentang hakekat Kebenaran (haqq):

Mereka yang berkata, tidak tahu;

Mereka yang tahu, tidak berkata.

Seorang Sufi berkata pula lebih kurang:

Bilamana Rahasia-rahasia Penglihatan diajarkan kepada seseorang

Bibirnya dikatupkan menghadapi omongan tentang Kesadaran

Inti persoalan dalam sajak di atas ialah kenyataan bahwa kesadaran mistis itu pada hakekatnya dicapai melalui kesaksian kalbu dan dialami hanya dalam batin. Kebenaran yang dikandungnya sebenarnya bukanlah untuk diuraikan dengan kata-kata. Imam al-Ghazali menuturkan: "Pengetahuan ilahiyah sebegitu mendalam sehingga ia hanya diketahui oleh mereka yang memilikinya. Seorang anak tidak akan dapat memahami pengetahuan yang dicapai orang dewasa. Begitu pula seorang terpelajar dalam ilmu formal tidak akan dapat memahami pengetahuan yang dicapai ahli hakekat dan makrifat sebelum orang tersebut mencapai ilmu hakekat dan makrifat".

Pengetahuan langsung dan kesaksian batin Sufi tentang kebenaran tertinggi disebut haqq al-yaqin. Para Sufi mempercayai bahwa keyakinan yang mendalam inilah yang merupakan sumber kepastian, ketetapan hati dan iman. Berbeda dengan para filosof rasional dan ilmuwan formal yang percaya bahwa pengetahuan hanya dicapai melalui penyelidikan empiris dan pembuktian rasional, para Sufi percaya bahwa ibadah yang berdisiplin dan latihan kerohanian yang sungguh-sungguh juga merupakan sumber pengetahuan. Ini tidak berarti para Sufi menolak pentingnya pengalaman empiris dan pembuktian rasional. Menurut mereka metode empiris dan rasional sangat bermanfaat dalam kaitannya dengan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan dan dunia. Tetapi untuk mengenal rahasia-rahasia ketuhanan dan kebahagiaan rohani manusia memerlukan pengalaman intuitif atau penyaksian kalbu serta makrifat.

Para Sufi banyak melahirkan kisah-kisah perumpamaan yang menarik. Selain karena ketajaman dan kedalamannya, kisah-kisah itu menarik karena kaya dengan humor. Walaupun kisah-kisah itu ditafsirkan bermacam-macam, namun ada gagasan sentral di dalamnya. Misalnya kisah yang populer di kalangan ahli Tarekat Chistiyah. Kisah tersebut memberi peringatan kepada kita agar waspada menyiasati perkataan seseorang yang tidak ahli dalam bidang yang diceburinya. Kisah tersebut di antaranya:

Seseorang dipercaya telah mati, dan setelah dibungkus kain kafan, hendak dimasukkan ke liang kubur, orang itu hidup kembali. 'Dia harusnya mati,' kata orang yang berkabung, sebab dia telah diumumkan mati oleh orang yang ahli. 'Tapi lihat, Anda dapat melihat saya masih hidup,' seru orang mati yang hidup kembali."

Seorang ahli hukum terkenal datang menemui kerumunan orang yang berkabung itu. 'Kini, Anda telah mendengar apa yang dikatakan oleh orang yang dikira mati, tetapi apa saudara melihat hal ini benar?"

"Dia sudah mati," ujar orang yang berkabung.

"Kuburlah dia," kata ahli hukum.

Dan begitulah orang itu pun dikubur hidup-hidup.

Sindiran lain ditujukan kepada sarjana-sarjana lulusan akademi yang menguasai banyak pengetahuan, akan tetapi asing terhadap ilmu hakekat.

Dia yang kepalanya congkak dan suka menyombongkan diri

Janganlah dikira akan mau mengenal dan memahami kebenaran

Atau ujaran ini:

Berikan uang kepada sarjana agar mereka bisa belajar lebih banyak
Namun seorang zahid jangan diberi apa pun agar tetap zahid.

Para Sufi seperti Imam al-Ghazali, Jalaluddin Rumi dan Fariduddin `Attar sering mengingatkan bahwa ahli hakekat termasuk Sufi itu bukan orang yang serba tahu.. Kepada murid-murid mereka para guru Sufi selalu mengajarkan betapa perlunya seseorang berbebuat sesuatu yang diyakini baik secara terus-menerus dengan iman, cinta dan harapan yang besar. Jadi seseorang tidak berputus asa. Rasa optimis lebih memberikan manfaat dibanding berputus asa. Kata Rumi "Siapa yang tetap mengetuk pintu akan tiba masanya pintu dibuka." Seorang Sufi lain mengatakan, "Mengapa kau bilang pintu akan terbuka? Pintu itu sebenarnya tidak pernah tertutup." Akan tetapi untuk meyakini bahwa 'pintu selalu terbuka' memerlukan proses yang panjang dan kesadaran batin yang dalam.

Para Sufi yakin bahwa kebenaran tertinggi atau hakiki tidak pernah dapat dirumuskan dalam konsep ilmiah. Pandangan serupa juga dijumpai di kalangan orang arif Hindu, Zen Buddhisme, Tao dan lain-lain. Seorang hukama Taois menyatakan, "Apa yang nampaknya benar sering merupakan distorsi atas kebenaran obyektif." Hakekat segala sesuatu menurut keyakinan mereka tidak didapat melalui pertanyaan 'Bagaimana? dan Mengapa?'

Kecuali tiak acuh pada pemilikan diri, para Sufi yakin bahwa sikap fakir atau bersahaja memiliki kekuatan yang dapat membimbing seseorang menuju pencerahan kalbu. Kisah yang bertalian dengan Syekh Utsman al-Hiri berikut ini cukup menarik:

Syekh Usman al-Hiri telah diundang makan malam oleh seorang yang jahil. Ketika syekh tiba di rumah orang itu, orang itu mengusirnya. Tetapi ketika baru beberapa langkah ia berjalan, orang itu memanggilnya lagi. Ini terjadi sampai tiga puluh kali, sampai ada orang lain muncul, terharu menyaksikan ketabahan Syekh Utsman dan kelembutannya, pada waktu dia melihat syekh itu membungkukkan badan dan minta maaf.

“Anda tidak mengerti,'“ kata al-Hiri. "Apa yang saya lakukan tak lebih dari apa yang dilakukan oleh seekor anjing yang terlatih. Ketika Anda memanggilnya, anjing itu datang. Ketika Anda mengusirnya maka ia pun pergi. Ini bukan perilaku seorang Sufi yang sejati dan tidak terlalu sukar untuk dilakukan.

Shakespeare kerap memberi peran kepada orang pandir dalam upaya mencapai pandangan yang tepat. Para Sufi kerap menggunakan kearifan dari orang gila (bahlul) untuk memperoleh kesadaran menuju kebenaran. Kegilaan, sebagaimana keindahan, berada dalam mata sang penglihat; dan kebenaran, sebagaimana lazim dipahami, ialah suatu hal yang bersifat nisbi.
Pemahaman para Sufi, sebagaimana pemahaman para mistikus sejati di Timur dan Barat, mengenai manusia dan alam semesta sering menimbulkan keheranan kita. Kita terbiasa mempercayai sains modern dengan berbagai penemuannya. Termasuk di bidang ilmu jiwa (psikologi), evolusi dan kodrat materi serta energi. Namun bukti-bukti menunjukkan bahwa konsepsi-konsepsi modern ini telah lama dikenal oleh para ahli makrifat di lingkungan agama Hindu, Budha, Kristen, Islam dan Tao. Seorang sufi masyhur menuturkan seperti berikut delapan ratus tahun yang lalu:

"Asal mulanya kau lempung. Dari mineral, kau naik jadi tumbuhan. Dari tetumbuhan, kau naik jadi hewan, dan dari hewan naik jadi manusia. Selama masa-masa penanjakan ini manusia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tapi ia telah menempuh suatu perjalanan yang panjang. Dan kau telah menempuh ratusan dunia/alam yang berbeda-beda." (Maulana Rumi)

"Belahlah hati atom: dari tengah-tengahnya akan kau saksikan bola matahari bersinar. Jika kau menyerahkan segenap yang kau miliki pada Cinta, kau tak akan merasakan kehilangan secercahpun. Jiwa berjalan melalui panasnya api cinta membuat kau menyaksikan jiwa berubah. Jika kau membuang kesempitan dimensi, dan ingin menyaksikan waktu dari sesuatu yang tak bertempat, kau akan mendengar apa yang belum pernah kau dengar dan akan menyaksikan apa yang belum pernah kau lihat; sehingga mereka melepaskan kau menuju suatu tempat di mana kau akan menyaksikan 'dunia' dan 'dunia-dunia' sebagai satu. Kau akan mencintai Keesaan (tauhid) dengan hati dan jiwa; sehingga, dengan mata sebenarnya, kau akan menyaksikan Tauhid ..." (Syekh Ahmad Hatif)

Kesatuan transenden segala benda menjadi tekanan utama para ahli makrifat. Pembedaan artifisial yang dibuat dalam tingkat kesadaran biasa harus dicampakkan untuk memperoleh penglihatan murni. Kesadaran semacam itulah mungkin yang membuat Ibn al-'Arabi berpendapat bahwa manusia yang berpikir usianya akan dihitung dengan cermat bisa mencapai empat puluh ribu tahun.

Aspek psikologis dari hikmah Sufi ditunjukkan oleh banyak kisah yang disampaikan dengan berbagai cara. Pengetahuan sampai melalui seorang guru kepada muridnya melalui cara yang sesuai dengan kemampuan murid dalam memahami suatu masalah, sesuai dengan kepribadian dan temperamennya. Seorang guru jarang menyampaikan ajaran kepada lebih dari sekelompok kecil murid, malah sering seorang guru hanya mengajar seorang murid. Banyak kisah Sufi yang menunjukkan bagaimana bagaimana cara mereka mengajar. Metodenya bermacam-macam, disamping dibedakan antara murid yang pandai atau cepat menangkap persoalan dengan murid yang lambat pertumbuhan pikirannya. Misalnya sebagaimana dituturkan dalam kisah ini:

"Suatu hari telah datang seorang lelaki menemui Syaikh Akbar Bahaudin, meminta petunjuk kerohanian. Bahaudin mengatakan kepadanya agar mengelakkan kajian kerohanian, dan meninggalkan majlisnya sekali ini. Pengunjung yang sama memprotes. 'Kau sudah memiliki bukti,' ujar Bahaudin. Pada waktu itu seekor burung terbang ke dalam ruang, mengepakkan sayap ke sana kemari tanpa mengetahui ke mana dia harus melarikan diri. Sanng Sufi menunggu sampai burung itu berdiam dekat jendela, dan kemudian tiba-tiba menepuk tangannya. Diberi peringatan, burung itu terbang lurus ke luar jendela, untuk membebaskan diri. Bagi burung itu suara tepukan itu telah cukup untuk menimbulkan goncangan; juga mmbuat ia terhina -- tidak - kan demikian? kata Bahaudin.

Ini hanya contoh kecil saja, bagaimana guru-guru Sufi tidak mudah menerima seorang murid, terutama yang niatnya belum kukuh dan kemampuannya untuk memahami persoalan meragukan. Jadi mereka begitu selektif.

Upaya kita untuk menyimak mutiara hikmah dari mereka tidak akan memadai seandainya kita melupakan aforisme-aforisme mereka yang begitu menukik dan tajam. Beberapa di antaranya bisa kita paparkan:

- Orang menentang sebuah pandangan karena tak mau tahu tentang pandangan tersebut.

- Kecepatan memang diperlukan oleh seekor kuda, namun tidak semua bentuk kecepatan itu diperlukan dan memberi keuntungan.

- Kau memiliki satu hal yang tak bakal hilang bila berada dalam sebuah kapal yang karam.

- Aku tidak pernah melihat seseorang yang berada di jalan lurus itu kehilangan.

- Nak, jangan minta inbalan dari A jika kau sedang bekerja di rumah B.

- Jangan bersahabat dengan pemelihara gajah jika kau tidak punya ruang untuk menghibur seekor gajah.

- Ikatlah dua ekor burung, mereka takkan mampu terbang sekali pun sayap yang mereka miliki empat.

- Pembenaran diri yang berlebihan lebih jelek dibanding kecaman yang orisinal.

- Berdosa kepada Tuhan adalah suatu hal; namun berdosa kepada manusia jauh lebih buruk.

- Lilin menyala tidak untuk menerangi dirinya sendiri.

- Kami telah menulis seratus surat kepadamu, dan kau tidak menulis sepucuk surat pun sebagai jawaban. Namun tak menjawab sudah merupakan sebuah jawaban.

- Sering seseorang memberikan penafsiran keliru jik berhadapan langsung orang yang pandai dan mengetahui.

- Seorang syekh ialah dia yang mempunyai murid yang memerlukan pribadinya, bukan keajaiban, kekeramatan dan kebesarannya.

- Seorang sufi adalah dia yang telah meninggalkan tiga macam kata 'aku' dalam ucapannya: kepunyaanku, dadaku dan kekayaanku. Ia telah melepaskan sesuatu yang diperuntukan bagi dirinya.

Imbauan tasawuf memiliki ciri universal. Ia bertalian dengan setiap peradaban, setiap agama dan setiap babakan waktu dalam sejarah manusia. Bagi yang mengalaminya tidak memerlukan takrif atau definisi, dan tak akan pernah terkena cemaran logika serba dua kali dua sama dengan empat. Intisari tasawuf selalu hadir dalam tebaran kata-kata para bijak. diktum yang disajikan Ibn al-'Arabi ini barangkali merupakan contoh yang paling cemerlang:

"Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama pengetahuan intelektual, yang dalam kenyataan berisi informasi dan kumpulan fakta-fakta belaka, dan apabila pengetahuan ini digunakan untuk mencapai konsep-konsep intelektual yang melampaui batas, maka ia disebut intelektualisme. Yang kedua menyusul pengetahuan tentang keadaan-keadaan, mencakup baik perasaan emosional dan perasaan asing di mana orang mengira telah mencerap sesuatu yang tinggi. Namun dia tidak dapat memanfaatkan untuk keperluan hidupnya sendiri. Inilah emosionalisme. Yang ketiga pengetahuan nyata, yang disebut Pengetahuan tentang Hakekat. Dalam bentuk ini manusia dapat mencerap apa yang betul, apa yang benar, mengatasi batasan-batasan pikiran dan penginderaan. Para sarjana dan ilmuwan memusatkan perhatian pada bentuk pengetahuan pertama. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua. Yang lain memadukan keduanya, atau memakai satu di antara keduanya secara bergantian. Akan tetapi orang yang telah mencapai kebenaran ialah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya dengan hakekat yang terletak di balik kedua bentuk pengetahuan ini. Itulah Sufi sejati, darwis yang telah mencapai makrifat dalam arti sebenarnya.

Demikianlah uraian ringkas ini mudah-mudahan memadai dalam menjelaskan apa itu hakekat tasawuf, landasan falsafah dan kandungan sastranya[]
Oleh Abdul Hadi W. M.
http://www.al-shia.org/
Baca Selengkapnya...

Thursday 18 February 2010

DESAH NAFAS KEBAHAGIAAN.....


Bahagia tak bisa dilukiskan oleh tebaran kata-kata. Bahkan semakin dilukiskan, kebahagiaan itu tak berasa. Kebahagiaan melekat dalam kesenyapan dan diam. Saya merasakan bahagia kala berada antara tarikan dan hembusan nafas. Ketika saya menikmati dan menghayati hirupan dan hembusan nafas dengan detail dipandu kelembutan rasa, di ujungnya membersit kebahagiaan. Akan tetapi, bila saya tak meresapi dengan serius, setiap hirupan dan hembusan nafas, niscaya hidup yang kujalani seolah tak menyajikan makna bahagia. Bahkan cenderung menyodok di dataran kehampaan. Kunci memantik kebahagiaan adalah merasakan dan menghayati kekinian yang terus berjalan. Kebahagiaan berada antara lintasan awal dan akhir, bermukim di saat ini yang abadi. Kala kita bisa menikmati momen keabadian ini, kebahagiaan itu akan meluber dalam hati kita.


Memaknai desah nafas berguna untuk memahami arti hidup. Andai hidup tidak menempel pada diri kita, mungkinkah kita bakal merasakan keindahan dari setiap lintasan kejadian yang telah kita tapaki. Modal dasar bernama hidup telah mengantarkan anugerah lainnya, dan berujung pada kebahagiaan. Berarti, lantaran adanya hidup, kebahagiaan bersemai dalam diri kita. Hidup disini tidak hanya hidup jasmani, namun hidup yang mendasari hidup jasmani, yakni hidup ruhani. Andai ruhani kita hidup, insya Allah kebahagiaan akan mengalir ke muara hati kita.

Apa tanda dan bagaimana menghidupkan ruhani? Ruhani hidup ditandai dengan rasa, ya merasa ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagaimana kala kita disalak kedukaan dan kesedihan? Kedukaan menyangkut hal duniawi menandakan matinya ruhani. Namun kedukaan lantaran merasa jauh dari Allah, adalah tanda hidupnya ruhani. Saya pernah bertutur pada teman saya, “Saat Anda merasa mengalami kematian ruhani, itu pertanda hidupnya ruhani.” Serupa dengan datangnya penyesalan pertanda terbitnya fajar kebahagiaan. Saat hati begitu lama terkurung dalam kegelapan, dan cahaya kebenaran menerobos bilik-bilik hati kita, maka kebahagiaan itu akan meresap di hati.

Sudahkah kita merasakan kebahagiaan? Andai kebahagiaan masih belum dirasakan, sepatutnya kita memeriksa diri sendiri, mungkin bertumpuknya dosa dan kesalahan telah menghalangi kita mencapai kebahagiaan itu. Atau mungkin keringnya rasa syukur di hati kita atas anugerah Allah yang amat berlimpah. Bukankah syukur sebagai resepsionis hadirnya kebahagiaan? Daya tarik berkunjungnya kebahagiaan ke dalam hati kita, lantaran hati kita selalu menyuguhkan rasa syukur yang tak pernah jeda. Kapan harus bersyukur? Syukur tak hanya digunakan saat menggapai kenikmatan, pun saat kejadian pahit menabrak, kita harus rela menyuguhkan syukur. Karena rumus yang hakiki, bukan kebahagiaan yang mengantarkan syukur, namun syukurlah yang mengantarkan kebahagiaan. Kalau kita hendak menyematkan kebahagiaan di hati, perlu kiranya kita membahanakan nyanyian syukur setiap saat, mengikuti tarikan dan hembusan nafas.

Ketika tarikan dan hembusan nafas dialiri spirit syukur, insya Allah setiap tarikan dan hembusan nafas terasa ringan. Memang, dengan bermodalkan bahagia yang direnda dari syukur, insya Allah hidup bakal menjadi lebih ringan. Setidaknya mata tidak melotot, kening tidak mengerut, dan tangan tak mengepal. Yang terpampang penampilan diri berhiaskan senyum yang terus mengembang, wajah melulu menebarkan pancaran optimisme, dan tangan selalu berposisi terbuka.

Mungkin saatnya saya menghayati kebahagiaan, bukan memikirkan kebahagiaan. Semoga Allah SWT mencurahkan hidayahNya pada kita semua agar terus bisa merasakan dan menghayati kebahagiaan lewat tarikan dan hembusan nafas. Wallahu A’lam Bisshowaab.


ALLAH MENGHENDAKI KEBAHAGIAAN

Kebahagiaan menjadi harapan utama setiap insan, bahkan seluruh makhluk yang bermukim di jagat semesta ini tak luput dari kehendak menggapai kebahagiaan. Cacing yang hidup tanpa mata, tanpa telinga menyusur tanah sebagai makanannya, dengannya ia mempertahankan hidupnya. Efeknya, tanah pertanian menjadi gempur, dan petani bisa bercocok tanam di lahan yang subur. Dari tanah yang subur insya Allah akan menghasilkan panen yang makmur. Tikus, ketika dikejar kucing, niscaya akan lari pontang-panting ke sarang pengaman demi mengelak bahaya yang mengancam. Ia lakukan karena menghendaki kebahagiaan. Pohon, kendati tidak ditanam dan disiram manusia, akan tetap tumbuh hingga berbuah. Seluruh fenomena perilaku makhluk yang tersaji di depan kita menandakan bahwa seluruh kehidupan ini menghendaki kebahagiaan. Siapakah yang telah menyusupkan kehendak bahagia itu? Siapakah yang betul-betul mengerti dan memahami cara untuk memeroleh kebahagiaan? Perlulah kiranya kita renungkan.

Sebagai pertanda Allah menghendaki makhlukNya bahagia, Dia telah menetapkan berbagai peraturan yang perlu dijalani manusia guna menempuh kebahagiaan. Kita menyadari kebahagiaan bukan suatu yang instant, seketika diperoleh. Sebagai sebuah kehendak, maka kebahagiaan menjadi cita-cita. Setiap cita-cita harus diperjuangkan, membutuhkan effort atau usaha yang keras. Demi menggapai cita-cita berupa bahagia, kita perlu menempuh pelbagai langkah yang telah ditentukan Allah SWT.

Allah adalah sentrum kebahagiaan. Tak ada yang dilakukan Allah kecuali demi kebahagiaan itu sendiri. Hanya saja, manusia sering berlaku inkonsisten antara kehendak bahagia yang hadir dari hati nurani dengan perilaku hidup yang ditampilkan. Katanya manusia ingin bahagia, tetapi kenapa perilaku hidupnya kerap kali kontras dengan kehendak agung tersebut? Dan mengapa pula, ada orang yag terus dibelit derita? Ya, manusia tersingkir dari lingkaran kebahagiaan lantaran melulu mengikuti kehendak hawa nafsu. Kalau kita renungkan, seluruh pergerakan hawa nafsu bukan untuk menumbuhkan kebahagiaan, hanya meneteskan secuil kesenangan yang akhirnya menurunkan kesedihan ke rongga batin. Kebahagiaan terikat pada kesungguhan manusia mengendalikan hawa nafsu, “Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (QS. An-Nazi’at [79]: 40-41).

Allah tidak pernah berbuat dzalim pada hambaNya kecuali hamba sendiri yang berlaku dzalim pada dirinya sendiri. Penderitaan menimpa kita lantaran perilaku dan sikap hidup kita sendiri. Adapun Allah hanya menghendaki kebahagiaan bagi kita.

Karena Allah tidak menghendaki kecuali kebahagiaan, maka segala hal menempa dan menerpa kita hanya demi tercapainya kebahagiaan. Kita dianjurkan shalat guna bisa mencerap kebahagiaan dan merasakan kedekatan dengan Allah SWT. Allah menetapkan kehendak tasyrik, berupa perintah dan larangan, serta kehendak takwin, berupa qoda’ dan qadar, sesungguhnya menghendaki hidup kita berlimpah kebahagiaan. Pembatas-pembatas yang ditetapkan Allah tidak untuk menyandera kebahagiaan kita, bahkan bagaimana mempertahankan kebahagiaan yang bermukim dalam hati kita. Puasa sebagai perisai pencegah dari perbuatan tercela diharapkan bisa mengukuhkan kebahagiaan itu sendiri. Andai manusia tidak berpuasa, justru akan mudah terseret ke dalam perbuatan maksiat. Dari puasa diharapkan ada sistem kontrol yang handal, sehingga manusia tetap terarah menjalani kebaikan. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa kehendak dibalik kehendak Allah adalah kebahagiaan. Target dari semua target adalah kebahagiaan.

Allah Maha Mengetahui resep untuk meraih kebahagiaan, karena dariNya kebahagiaan itu dicurahkan. Ketika orang menyandarkan hidupnya pada Allah, niscaya kebahagiaan pun akan meliputinya. Namun, bila manusia telah berpaling dari Allah SWT, maka kebahagiaan tersingkir dari taman hatinya. Dari situ, kita bisa meneguhkan kesadaran akan kata-kata penuh daya, “Tuhanku, Engkaulah Tujuanku, RidhaMU yang aku cari.” Antara kebahagiaan sebagai tujuan dan Allah sebagai tujuan tidak bisa dipisahkan dan dibedakan. Allah menyatu dalam kebahagiaan, dan kebahagiaan menyatu padaNya. Tujuan yang integral.

Karena Allah menghendaki kebahagiaan bagi jagat semesta, maka seluruh peraturan syariat yang ditetapkan bagi manusia tidak pernah lepas dari kehendak inti tersebut. Andai kita menyadari secara mendalam akan kehendak dibalik kehendak Allah, kita akan selalu meluapkan rasa syukur yang tak pernah jeda atas karunia Allah yang terus mengalir dalam hidup ini.

Sekarang kita memahami, kehendak dibalik kehendak Allah adalah kebahagiaan, berarti kita bisa bahagia dalam setiap keadaan yang menghampiri kita. Karena itu, tidak ada kata yang patut kita serukan terus-menerus dalam setiap kesempatan, kecuali alhamdulillah, cermin spirit syukur yang tak pernah sirna dalam hati kita. Bagaimana cara kita memantik kebahagiaan? Ya, kebahagiaan terbungkus dalam syukur. Manakala kita meluncurkan semangat syukur setiap saat, maka kebahagiaan bakal menghias hidup kita.

Syukur salah satu jalan memeroleh kebahagiaan yang kekal dalam hati. Orang bersyukur karena dua faktor. Pertama, bersyukur karena nikmat yang diperoleh. Kedua, bersyukur karena mengingat yang menganugerahkan nikmat, yakni Allah SWT. Yang kedua ini, bersyukur dalam segala keadaan, karena terpaku pada pesona Allah SWT. Dia mengenal tentang sifat-sifat Allah yang full kebaikan. Tak heran, ia masih bersyukur bahagia dalam keadaan yang tercepit sekalipun lantaran merasa Allah masih mencurahkan kasih sayangNya. Andai kita menyadari secara menyeluruh bahwa penciptaan alam semesta didasari rasa kasih sayang Allah, niscaya kita akan menemukan syukur di segala keadaan.

Karena terpesona pada kasih sayang Allah yang meliputi seluruh jagat ini, maka orang-orang arif selalu memiliki alasan untuk melulu bersyukur pada Allah SWT. Ada seorang arif bertutur, “kalau ayam “nyeker-nyeker” untuk memeroleh sebutir makanan, sementara orang arif “nyeker-nyeker” untuk memperoleh alhamdulillah.” Dan orang arif selalu meraup spirit alhamdulillah di setiap kesempatan. Karena itu, ia selalu berhasil menangkap keindahan di setiap keadaan. Mengapa orang arif selalu bersyukur di setiap keadaan? Karena mereka meyakini secara mendalam bahwa sifat Allah, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, telah mendasari setiap peristiwa dan kejadian yang menyembul ke permukaan. Andaikan ada musibah, bukanlah serta merta mengundang kesedihan yang mencekam bagi dirinya, malahan dia terus mengingat Allah dibalik musibah itu, mengingatkan kebaikanNya yang tak pernah pudar. Makanya ia peroleh kebahagiaan.

Agar kita selaras dengan kehendak dibalik kehendak Allah berupa kebahagiaan, maka kita diharapkan selalu membudayakan syukur di setiap kesempatan.

KH. Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar
Baca Selengkapnya...